AQIDAH AHLUSSUNNAH DALAM PEMBUKAAN UUD 1945

AQIDAH AHLUSSUNNAH DALAM PEMBUKAAN UUD 1945

 Oleh: Bana Fatahillah Lc

(Guru Pesantren At-Taqwa Depok)

 

Pada 22 Juni 1945, sembilan tokoh bangsa dipimpin Ir. Soekarno, menghasilkan satu rumusan indah yang sekarang dikenal sebagai Pembukaan UUD 1945. Diantara rumusan indah yang memiliki makna besar, adalah: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur

“Atas Berkat Rahmat Allah SWT”. Kalimat ini sejatinya adalah manifestasi dari konsep qadha dan qadar dalam Islam.  Seorang muslim harus meyakini bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak-Nya dan tercipta oleh-Nya, baik yang sedang terjadi atau pun yang akan terjadi. 

Qadha adalah sebuah ketetapan yang termaktub di Lauhil Mahfudz sejak masa azali. Ia berkaitan erat dengan sifat ilmu dan iradah Allah SWT yang qadim. Sedangkan qadar  adalah aktualisasi dari ketetapan yang telah dimaktubkan. Jadi, tatkala pada suatu hari kita diberikan uang sebesar satu milyar rupiah, maka ketahuilah hal itu adalah aktualisasi dari ketetapan yang Allah tuliskan. 

            Baik atau pun buruk, seorang muslim harus yakin bahwa apa yang terjadi adalah ketetapan Allah dan perbuatan-Nya. Tatkala seorang pemain bola muslim mencetak bola ke gawang lawan, maka ia harus yakin, bahwa hal tersebut sudah ‘ditetapkan’ oleh Allah SWT. Karenanya, seseorang tidak perlu terlalu angkuh dengan gol tersebut atau pencapaian apa pun.

            Inilah makna yang tampaknya ingin disampaikan oleh para tokoh bangsa kita dibalik kalimat “atas berkat rahmat Allah” itu. Saat kemerdekaan itu sudah diteriakkan, mereka meyakini bahwa Allah-lah yang dengan sifat Ilmu dan Iradah qadim-Nya menetapkan Indonesia akan merdeka di hari sekian dan bulan sekian.

Karenanya, dengan lantang mereka merumuskan sebuah kalimat “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”. Sebab, sebagaimana disebutkan,  kemerdekaan ini bukanlah buah dari tangan mereka,  namun merupakan anugerah Allah SWT,  sebagai pemilik seluruh kekuatan. Kemerdekaan Indonesia adalah rahmat dari Allah.

Dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur”. Namun jika berhenti sampai di sini, akan muncul asumsi “Kalau seluruh apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi sudah ditetapkan oleh Allah, apa gunanya usaha kita? Dan kalau begitu juga,  untuk apa kita berdoa? Bukankah semuanya sudah ditetapkan oleh Allah? Mau berdoa atau tidak, jika Allah tetap menakdirkanku miskin, diriku bisa apa?

            Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang sering terbersit dalam pembahasan qadha dan qadar. Bahkan kelompok Ahlussunnah kadang dituduh sebagai Jabariyyah yang meyakini bahwa manusia tidak mempunyai pilihan dalam menyikapi takdir. Ia ibarat kapas yang terbang kemana angin berhembus bersamanya. Padahal hakikatnya tidak seperti itu. Ahlusunnah mempunyai konsep bernama ‘kasab’ untuk merespon berbagai dugaan ini.

            Syekh Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya Kubra Yaqiniyyat membagi ciptaan Tuhan menjadi dua bagian. Pertama, sesuatu yang memang tidak mempunyai upaya (kasb) dalam ketetapannya. Ia adalah hal-hal yang berjalan di alam ini dengan keadaan mantap dan paten. Contohnya seperti gerakan perputaran bumi mengelilingi matahari, tumbuhnya pohon dan bunga dan lain sebagainya. Mereka semua tidak punya wewenang atau pilihan untuk merubah nasibnya.

Kita bisa membayangkan kalau suatu hari bumi tak mau lagi berputar sebagaimana mestinya. Ia ingin berputar beda dari biasanya. Sudah pasti itu akan menyebabkan kekacauan. Dan akal kita pun menyetujui asumsi ini.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/aqidah-ahlussunnah-dalam-pembukaan-uud-1945

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait