Artikel Terbaru ke-1.922
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam sejarah Indonesia, dan juga fakta di berbagai belahan dunia Islam, gagasan untuk membentuk negara sekuler bagi Indonesia adalah buang-buang waktu dan akan menimbulkan 'ketegangan ideologis'. Apalagi sebenarnya Indonesia telah mencapai 'konsensus nasional' tentang dasar negara: Pancasila.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 45 dan menempatkan Piagam Jakarta sebagai 'satu rangkaian kesatuan dan yang menjiwai"UUD 1945” telah diterima sebagai konsensus nasional oleh semua golongan. Meskipun dikeluarkan dalam keadaan darurat, pada tanggal 22 Juni 1945, Dekrit itu diterima secara aklamasi oleh DPR hasil pemilu 1955 -- dimana 44% anggotanya berasal dari "nasionalis Islami". (Lihat: Endang Saifuddin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945:Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia, hal. 9-10. Juga, Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, hal.105-107).
Dalam sebuah seminar tentang hubungan agama dan Pancasila yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, tahun 1985, KH Ahmad Siddiq (alm.) yang waktu itu menjabat sebagai Rais Am PB NU, menegaskan bahwa dengan sila pertama dari Pancasila, Indonesia bukanlah negara sekuler. Di negara sekuler, agama terpisah dari negara; negara tidak campur tangan dalam masalah agama.
Sebagai ganti gagasan sekularisme, KH Ahmad Siddiq mengusulkan gagasan "proporsionalisme". “Sesungguhnyalah, salah satu masalah besar bagi bangsa Indonesia zaman ini ialah bagaimana memproporsionalkan (wadh'u syaiin fi mahallihi/menempatkan sesuatu sesuai tempatnya; Pancasila dan agama; sehingga benar-benar terbukti bahwa di dalam negara dan masyarakat berpancasila ini, agama dapat diamalkan dengan lebih baik dan sebaliknya umat beragama di negara ini merupakan tulang punggung ideologi nasional Pancasila". (Lihat: KH Ahmad Siddiq, dalam makalahnya berjudul "Hubungan Agama dan Pancasila", yang dimuat dalam buku Kajian Agama dan Masyarakat, Balitbang Departemen Agama, hal. 255-265).
Dengan sedikit perbedaan redaksi, Endang Saifuddin Anshary mengusulkan gagasan "proporsionalisme Islami" sebagai pengganti 'fundamentalisme' dan 'oportunisme'. Barang kali Endang Saifuddin sangat menekankan kata 'barangkali itu'----fundamentalis 'adalah:kelompok yang cenderung memfundamentalkan segala masalah, termasuk hal-hal yang taktis dan teknis semata. Sementara kelompok yang cenderung mentaktiskan dan mentekniskan segala masalah, termasuk yang fundamental atau yang prinsipal, dapat dimasukan kelompok pragmatis-oportunis. Kedua kelompok terakhir itu tidak ideal.
Lanjut baca,