Artikel ke-1351
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada hari Jumat (11/11/2022), saya kedatangan tamu seorang mahasiswa S3 yang sedang menulis disertasi di sebuah universitas di Eropa. Tujuan utamanya untuk melakukan wawancara seputar masalah Islam dan keindonesiaan. Salah satu yang ditanyakan adalah bagaimana sepatutnya umat Islam memahami Pancasila.
Kepada mahasiswa ini, saya menjelaskan, bahwa sebenarnya para tokoh Islam sudah banyak memberikan pemahaman yang adil terhadap Pancasila. Beberapa tokoh yang terlibat aktif dalam perumusan Pancasila – juga UUD 1945 – diantaranya adalah Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan sebagainya. Menyusul kemudian para tokoh Islam yang banyak menulis tentang Pancasila, seperti Mohammad Natsir, Buya Hamka, KH Saifuddin Zuhri, KH Achmad Siddiq, dan sebagainya.
Pemikiran para tokoh itu sudah cukup jelas, bagaimana seharusnya umat Islam memahami Pancasila secara adil. Bahkan, pada tahun 1983, Munas Alim Ulama NU telah menghasilkan rumusan ideal tentang pandangan Islam terhadap Pancasila. Diantaranya adalah memberikan tafsir, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu bermakna Tauhid dalam ajaran Islam.
Rois Aam NU ketika itu, KH Achmad Siddiq, menjelaskan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Lihat, makalah KH Achmad Siddiq, berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Departemen Agama, (Jakarta, 1984/1985).
Ketika saya sampaikan bahwa makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu bermakna Tauhid, maka mahasiswa S3 tadi bertanya, bagaimana dengan agama lain?
Maka, saya jawab, bahwa umat agama lain silakan memahami sila pertama Pancasila itu sesuai dengan agamanya masing-masing. Di sinilah pentingnya memahami makna “kebhinekaan” atau keragaman di tengah masyarakat kita. Pemahaman umat Islam bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bermakna Tauhid, tidak boleh dipaksakan kepada pemeluk agama lain.
Begitu pula sebaliknya, umat Islam juga jangan dipaksa untuk memahami sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti dipahami umat agama lain atau dipaksa menerima tafsir sekuler terhadap Pancasila. Tentu saja ada penafsiran sila pertama yang tidak bisa diterima oleh bangsa Indonesia. Misalnya, penafsiran tokoh PKI, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencakup juga kebebasan untuk tidak beragama.
Seorang tokoh Komunis Indonesia, Ir. Sakirman, pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dan mengakui, bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup.” (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008).
Lanjut baca,