(Artikel ke: 1.239)
Muhammad Natsir dan Perang Kata-Kata
Oleh: Azzam Habibullah (Mahasiswa STID Mohammad Natsir)
Senjata api acapkali tidak cukup untuk memenangkan peperangan. Kelihaian dalam memanfatkan kata-kata, baik lisan maupun tulisan merupakan hal yang sangat fundamental. Terlebih di tengah peperangan, tidak dapat dipungkiri bahwa siapapun yang menguasai informasi, dan mampu menggiring opini masyarakat, punya kekuatan yang lebih untuk melemahkan lawan. Hal ini disadari benar oleh para pendiri bangsa ini. Itulah sebabnya, selain penyerangan melalui pergerakan politik dan militer, terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak lepas dari kekuasaan media jurnalistik.
Salah satu tokoh yang sadar tentang pentingnya media ini, adalah sosok penulis dan cendikiawan Muslim terkemuka, bernama Muhammad Natsir (1908-1993). Ketika bersekolah di Bandung, Natsir bertemu dengan Tuan Ahmad Hassan (A. Hassan). Seorang ulama terpandang, yang kelak semangat dan pemikirannya, akan menjadi “Zirah” bagi seorang Natsir, dalam perangnya melawan para penjajah.
Dikisahkan melalui buku Belajar Dari Partai Masjumi karya Artawijaya. Persis di gang sempit pinggiran kota Bandung yang dikenal sebagai Gang Pakgade, berdirilah kediaman Tuan Ahmad Hassan yang dikenal tidak sepi dari para anak muda pejuang, tak terkecuali Natsir.
Pada tahun 1929, A.C Christoffeles, seorang pendeta Kristen Protestan ternama berceramah di hadapan murid AMS Bandung. Natsir yang hadir ditengah forum tersebut, sontak geram ketika sang pendeta menyinggung dalam ceramahnya, bahwa nabi Muhammad tak lebih hanya sebagai jalan pembuka bagi kebenaran Kristus yang sebenarnya, dan merupakan sosok yang gila wanita. Melalui surat kabar Belanda, Algemeen Indisch Dagblad (AID), ceramah yang sangat menghina itu disebar hingga ke seluruh penjuru kota.
Kemelut antara zending Kristen dan umat Islam, sampai ke telinga Tuan Ahmad Hassan. Demi menahan segala serangan yang membuat kerusuhan di tengah masyarakat itu, juga atas ide dari Natsir yang saat itu usianya baru menginjak 22 tahun, berdirilah Komite Pembela Islam di kota Bandung. Sebagaimana seorang guru yang memberikan perintah kepada muridnya, A. Hassan mengamanahkan tugas kepada Natsir untuk melancarkan serangan balik terhadap ceramah pendeta Protestan itu. Keliahaian Natsir dalam bidang teologi dan bahasa Belanda, menjadikanya terpilih untuk mengirimkan tulisan atas nama Komite Pembela Islam kepada surat kabar AID.
Beberapa waktu kemudian, pada edisi selanjutnya surat kabar AID memuat bantahan Pendeta Christoffels atas tulisan Natsir. Situasi semakin memanas, tatkala redaksi surat kabar AID secara tidak adil memutuskan untuk menolak bantahan kedua dari Natsir, yang artinya menahan Komite Pembela Islam untuk melanjutkan serangannya. Tidak patah arang, Natsir bersama kawan-kawan di Komite akhirnya membuat Majalah Pembela Islam, yang pada edisi perdananya membuat tulisan Natsir berjudul Muhammad als profeet, yang begitu mengkrik keras keraguan Christoffeles akan kenabian Nabi Muhammad Saw.
Selang 2 tahun, perseteruan antara para penghina Islam dengan Komite yang dipimpin oleh A. Hassan ini tidak pernah berhenti. Tahun 1931, giliran pastor Katolik Ordo Jesuit, J.J Ten Berge yang menyampaikan penghinaanya terhadap Al-Qur’an, yang dimuat dalam Jurnal Studien. Artawijaya, dalam buku Belajar Dari Partai Masjumi, menyampaikan bahwa apa yang dituliskan oleh J.J Tenberge adalah kumpulan argumen penuh kebencian yang menyebut Al-Qur’an sebagai koleksi dongeng semata.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/muhammad-natsir-dan-perang-kata-kata