AHLUS SUNNAH MENDUDUKKAN AKAL DAN WAHYU SECARA ADIL

AHLUS SUNNAH MENDUDUKKAN AKAL DAN WAHYU SECARA ADIL

Artikel ke-1.412

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Islam adalah agama yang telah mendudukkan akal dan wahyu secara adil. Al-Quran mengajak manusia untuk menggunakan akal secara maksimal, tetapi juga menyadarkan manusia, bahwa kemampuan akal itu terbatas. Hal-hal yang ghaib atau ”supra-rasional” – seperti sorga, neraka, pahala, dosa – hanya bisa diterima dengan dasar periwayatan atau dalil naqli. Begitu juga kisah-kisah tentang umat terdahulu yang tak terindera secara langsung.

Tentang kedudukan akal dan wahyu, dalam kitab al-Iqtishad fi l-I'tiqad, Imam al-Ghazali membuat gambaran yang indah:

“Perumpamaan akal adalah laksana penglihatan yang sehat dan tidak cacat. Sedangkan

perumpamaan Al-Qur’an adalah seperti matahari yang cahayanya tersebar merata hingga memberi kemudahan bagi para pencari petunjuk. Amatlah bodoh jika seseorang mengabaikan salah satunya. Orang yang menolak akal dan merasa cukup dengan petunjuk Al-Qur’an, seperti orang yang mencari cahaya matahari tapi memejamkan matanya. Maka, orang ini tidak ada bedanya dengan orang buta. Akal bersama wahyu adalah cahaya di atas cahaya. Sedangkan orang yang memperhatikan pada salah satunya saja dengan mata sebelah (picak), niscaya akan teperdaya.”

 

Imam al-Ghazali wafat tahun 1111 M. Sebelumnya telah ada ilmuwan muslim bernama Ibn Haitsam (wafat tahun 1038 M) yang menemukan peran cahaya dalam teori tentang penglihatan. Ibn Haitsam dikenal sebagai ilmuwan yang sangat jenius dan sholeh, yang menguasai berbagai bidang ilmu secara ensiklopedik. Ia mampu memadukan antara akal dan wahyu secara adil, sehingga menjadi ilmuwan kebanggaan umat Islam dan dunia sepanjang sejarah.

Itulah diantara contoh ilmuwan muslim yang telah merumuskan kedudukan akal dan wahyu secara adil. Sayangnya, hingga kini, masih ada sebagian orang muslim yang menulis atau menyebarkan tulisan yang menuduh kaum Sunni adalah golongan yang kurang menggunakan akal secara maksimal.

Kalangan ini lalu memuji-muji kaum Mu’tazilah yang dianggap sebagai golongan yang hebat dalam menggunakan akal. Lebih jauh, masih ada saja ilmuwan – bahkan guru besar – yang menyatakan, bahwa umat Islam mundur karena menganut teologi Asy’ari dan meninggalkan teologi Mu’tazilah. Ada yang masih menyebarkan tulisan bahwa Barat maju karena mengikuti pemikiran Ibn Rusyd dan meninggalkan pemikiran Imam al-Ghazali.

Misalnya, seorang dosen di Perguruan Tinggi Islam menulis kata-kata berikut dalam sebuah bukunya:  “Matinya filsafat di dalam tradisi pemikiran Islam menunjukkan, secara implisit, hilangnya otoritas kelompok Muktazilah dalam mengendalikan pemerintahan karena ia satu-satunya aliran yang mengagungkan akal. Mereka digantikan oleh kelompok sunni yang lebih menjunjung tinggi wahyu daripada akal. Watak pemikiran sunni yang anti akal, pada giliran selanjutnya, menjelma ke dalam bentuk propaganda “anti-filsafat” dan “filsafat bertentangan dengan agama.” Maka tidak heran jika kemudian muncul tokoh semisal sang hujjah al-Islam, Imam al-Ghazali, seorang tokoh besar dari kalangan sunni, sangat anti filsafat, meskipun sebelumnya ia termasuk pecinta filsafat. Bukunya Tahafut al-Falasifah merupakan bukti sejarah atas ketidaksenangannya terhadap filsafat.”

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/ahlus-sunnah-mendudukkan-akal-dan-wahyu-secara-adil

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait