Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Para dai dan ustadz di Indonesia perlu sangat berhati-hati dalam menyampaikan dakwah di era dominasi media sosial saat ini. Jangan sampai Islam dicitrakan sebagai agama asing yang tidak cocok dengan masyarakat Indonesia, sehingga Islam harus disingkirkan dari bumi Indonesia. Kasus penendangan “sesajen” di Jawa Timur, misalnya, terus mendapatkan perhatian besar dari berbagai media, sehingga Islam dibenturkan dengan budaya lokal secara keseluruhan.
Kita catat kembali apa pernah ditulis oleh majalah Media Hindu (edisi Oktober 2011), bahwa keberadaan Indonesia menjadi negara mayoritas Muslim, patut disesali. Majalah ini menulis: “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit”. Menurut Media Hindu, Islam dianggap sebagai agama yang menggusur nilai-nilai budaya bangsa, sehingga menghambat kemajuan Indonesia.
“Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila meyoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa,” begitu tulis majalah ini. Karena itu, disimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.”
Selama ratusan tahun, strategi membenturkan Islam dengan budaya lokal sudah dilakukan oleh kaum kolonial. Maka, sepatutnya, para dai tidak boleh terjebak dengan skenario tersebut. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan Muslim yang berpuluh tahun sangat gigih berusaha mengingatkan strategi kolonial untuk mengecilkan peran Islam dalam sejarah di Kepulauan Nusantara.
Caranya adalah dengan membenturkan antara Islam dengan budaya lokal. Prof. al-Attas menulis: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990).
Dakwah Islam di Kawasan Nusantara ini diakui oleh dunia sebagai aktivitas dakwah yang sukses. Negeri ini dulunya 100 persen penduduknya bukan muslim. Negeri seluas dan seberagam ini bisa disatukan dengan satu agama dan satu bahasa. Tanpa kekerasan dan tanpa dukungan tentara. Dakwah yang hebat ini bukanlah dilakukan dengan asal-asalan atau sambilan.
Salah satu kesimpulan penting dari buku Historical Fact and Fictions karya Prof. Naquib al-Attas, adalah bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para pendakwah Islam yang hebat. Para dai dulu sangat bijak dalam menyikapi budaya lokal, bahkan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Lanjut baca,