Artikel ke-1.332
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam buku Capita Selecta Jilid I, dimuat sejumlah artikel Mohammad Natsir yang mengkritik gagasan sekulerisme atau Kemalisme di Turki. Diantaranya adalah artikel berjudul: ”Cinta Agama dan Tanah Air”, ”Ichwanush Shafa”, ”Rasionalisme dalam Islam”, ”Islam dan Akal Merdeka”, dan ”Persatuan Agama dengan Negara”.
Terhadap pembuangan syariah Islam dari kehidupan kenegaraan Turki yang dituduh sebagai sumber kemunduran, Natsir menjawabnya sebagai berikut: ”Kita ingin bertanya kepada kaum Kemalisten yang melemparkan undang-undang Agama Islam jau-jauh, dengan alasan ”progress” dan dengan perjuangan mereka yang bersifat to be or not to be itu: ”Progress” manakah yang akan terhalang, apabila pemabokan dan kecabulan dibasmi dengan keras; kemajuan ekonomi manakah yang akan seret, apabila lintah darat yang menghisap darah rakyat yang miskin itu tidak diberi hidup; progres politik macam mana pulakah yang akan terhalang apabila orang yang akan duduk memegang kekuasaan itu dimestikan berakhlak dan berbudi pekerti yang baik: ”to be” yang macam mana pulakah yang tak akan tercapai apabila rumah-rumah tangga yang bersusun menjadi negara diatur dengan menentukan hak dan kewajiban berumah tangga dan hak waris-mewarisi sebagaimana yang ditentukan oleh Islam itu?”
Dalam menjawab paham sekulerisme, Natsir menekankan perbedaan mendasar antara ”outlook” (cara pandang -- atau worldview) Islam dengan ”outlook” bukan Islam. Dalam Islam, kata Natsir, agama Islam bukanlah semata-mata satu ’tambahan’ atau ’ekstra’ yang harus dimasukkan kepada Negara, tetapi menurut ”outlook” Islam, negara adalah alat dan perkakas bagi berlakunya hukum-hukum Islam. ”Di sini terletaknya perselisihan ’outlook’ seorang Islam dengan ’outlook’-nya orang yang bukan Islam,” kata Natsir.
Lalu, Mohammad Natsir menguraikan pandangan Islam terhadap demokrasi: ”Barangkali orang akan berkata: ”Bukankah Islam itu bersifat ”demokratis”? Kita jawab: Islam bersifat ”demokratis” dengan arti bahwa Islam itu anti istibdad, anti absolutisme, anti sewenang-wenang. Akan tetapi ini, tidak berarti, bahwa dalam Pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada musyawarat Majelis Syura. Dalam Parlemen Negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan Parlemen terlebih dulu, apakah perlu diadakan pembasmian meminum arak atau tidak. Tidak ditunggu persetujuan Parlemen untuk penghapusan judi dan kecabulan, dan tidak perlu dimusyawaratkan apakah perlu diadakan pemberantasan churafat dan kemusyrikan atau tidak, dan sebagainya. Bukan! Ini semua bukan hak musyawarat Parlemen.”
Natsir mengakui demokrasi adalah hal yang baik. Tapi, katanya, sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelling-instelling demokrasi. ”Perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi, ia tidak pula sunyi dari pelbagai sifat-sifat yang berbahaya. Kita orang Islam cukup mengenal apakah akibatnya apabila demokrasi itu telah merosot menjadi ’partai-cratie’, atau menjadi ’kliek-cratie’ lengkap pula dengan segala main pencak dan sunglap di belakang layarnya.”
Terhadap sejumlah pemikiran kaum Turki Muda yang katanya membela demokrasi dan kebebasan, Mohammad Natsir memberikan kritiknya. Bahwa, di bawah Kemal Attaturk, justru tidak terjadi kebebasan berpendapat.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/ketika-mohammad-natsir-mengkritik-kemalisme-turki