Artikel Terbaru (ke-1.648)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam beberapa hari terakhir, media massa kita banyak diwarnai dengan berita tentang masuknya Ganjar Pranowo dalam tayangan azan maghrib di satu stasiun TV. Tayangan itu ramai disorot. Ada yang menyebut itu sebagai satu bentuk politik identitas. Tapi, Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membantahnya.
Dalam tayangan video itu, Ganjar Pranowo mengenakan baju koko putih, berpeci hitam, menyambut kedatangan jamaah yang akan menghadiri shalat berjamaah. Sekjen PDIP menyatakan, bahwa Ganjar Pranowo merupakan sosok yang sopan dan religius. Religiusitas Ganjar itu, katanya, tidak dibuat-buat.
“Istrinya, Bu Siti Atiqah juga dari kalangan pesantren, menampilkan kehidupan spritualitas yang mencerminkan sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan, bukan sesuatu yang dibuat-buat," kata Hasto, Sabtu (9/9/2023).
Bahkan, lanjutnya, "Sejak dulu, sejak zaman mahasiswa, Pak Ganjar Pranowo ini sosoknya seperti itu. Sosok yang rajin beribadah, sosok yang baik, sosok yang santun, sosok yang merakyat, itu tidak dibuat-buat itu sesuatu original, keluar dari Pak Ganjar Pranowo," imbuhnya. (Selengkapnya https://news.detik.com/pemilu/d-6921878/ganjar-pranowo-muncul-di-tayangan-azan-stasiun-tv-ini-kata-pdip).
*****
Begitulah pro-kontra telah mewarnai kemunculan seorang bakal calon presiden dalam satu acara ibadah dalam Islam, yaitu azan maghrib. Hal seperti ini bukan barang baru. Menjelang hajatan politik, simbol-simbol keislaman menjadi rebutan para pemain politik. Simbol-simbol Islam itu makin banyak digunakan oleh para kandidat kepala daerah, anggota legislatif, atau pun para calon presiden atau calon wakil presiden.
Sebagai muslim, sepatutnya kita merasa senang bahwa “faktor Islam” masih begitu diperhitungkan dalam arena politik di Indonesia. Bahkan, ada kecenderungan meningkat. Para politisi tentu paham benar bahwa masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai masyarakat religius. Maka, wajar jika para bakal calon capres dan cawapres ingin dipersepsikan oleh masyarakat sebagai seorang yang taat beragama, seorang yang religius.
Dalam masa-masa seperti ini, para ulama, tokoh agama, atau pondok-pondok pesantren, menjadi tujuan kunjungan para bakal calon capres dan cawapres itu. Mungkin, begitu pula yang terjadi pada tokoh-tokoh agama atau lembaga pendidikan agama lain, di daerah-daerah lain di Indonesia. Yang jelas, para politisi tidak ingin dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang yang jauh dari agama, apalagi orang yang memusuhi agama.
Ini patut kita syukuri. Sangat mengerikan, misalnya, jika ada politisi yang secara terbuka menyatakan dukungannya kepada praktik LGBT atau penghapusan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Padahal, di beberapa negara Eropa hal seperti ini sudah terjadi. Bahkan, ada Perdana Menteri yang secara terbuka menyatakan dirinya seorang praktisi LGBT.
Lanjut baca,
KETIKA SIMBOL-SIMBOL ISLAM JADI REBUTAN (adianhusaini.id)