Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ini satu perjalanan dakwah yang menarik. Pada 3 Agustus 2010, saya diajak ustaz Syuhada Bahri berkunjung ke daerah Transmigrasi Batumarta, Baturaja, Sumatra Selatan. Di situlah, saya bertemu dengan Suryadi, dai pendiri Pesantren Luqmanul Hakim, Batumarta.
Suryadi adalah dai pertama Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) di Batumarta. Perjalanan dakwahnya menarik. Tahun 1978, saat berumur 27 tahun, tamatan sebuah Madrasah Aliyah di Ngawi, Jawa Timur, ia mendaftar sebagai transmigran, bersama 100 kepala keluarga.
Tahun 1979, ia menjadi dai DDII. Tahun 1982, ia sempat menjalani pelatihan dakwah selama 40 hari di Pesantren Pertanian Darul Falah, Bogor. Suryadi mengaku bangga pernah dilatih langsung oleh Mohammad Natsir.
Suryadi lulus Aliyah tahun 1969. Aktivitas mengajar sudah menjadi darah dagingnya. “Setamat Tsanawiyah, saya sudah mengajar,” katanya. Ia mengajar agama dan bahasa Arab. Salah satu muridnya adalah Prof. Qamari Anwar, mantan Rektor Universitas Hamka Jakarta.
Bersama istri dan anak pertamanya, ia berangkat dari Ngawi menuju Batumarta. Tujuh hari perjalanan ia jalani. Suryadi bersyukur dapat menginjakkan kaki di lokasi transmigrasi. Rumah yang dijanjikan ditumbuhi pohon ilalang setinggi dada manusia. Pepohonan besar masih bercokol di sana-sini. Rumah itu berukuran 6x6 meter, terbuat dari papan kayu, berlantai tanah. Tak ada sumur, tak ada WC, apalagi listrik.
Suryadi mengaku tidak punya keahlian bertani. Toh, hari-harinya harus dilalui dengan membabat ilalang, membuka lahan. Ia tanam singkong dan padi. Tapi, sampai berbulan-bulan, hasratnya untuk mengajar belum terpenuhi. Ia pernah mencoba ke Baturaja, melamar di sebuah sekolah, tapi ditolak. Pada bulan ke sepuluh, ia memutuskan menjual tanahnya, karena belum ketemu tempat mengajar.
Ada yang menawar Rp 50.000. Ia setuju menjual rumah dan lahannya. Dengan uang sebesar itu, ia dan keluarga bisa kembali ke kampung asal, di daerah Ngawi. Ongkos Batumarta-Ngawi saat itu hanya Rp 6.000. Ternyata, pembeli hanya memiliki uang Rp 25.000. Katanya, sisanya akan dicicil kemudian hari. Entah kapan. Suryadi keberatan. Padahal, jika tahun 2010 itu dijual, lahannya yang lima hektar luasnya dijual, harganya sudah lebih dari Rp 500 juta.
“Akhirnya, saya kuat-kuatkan tinggal di sini,” katanya, mengenang. Tak berapa lama, sinar kehidupan mulai tampak. Suryadi mendapat tawaran mengajar agama di sebuah SD. “Saya sangat bahagia,” tambahnya. Sejak itu, babak baru kehidupannya sebagai dai dan ustad di Batumarta dimulai. Tapi, bersama itu pula, ujian demi ujian pun menyertainya. “Ada tiga kali saya berurusan dengan aparat keamanan,” kenangnya.
Lanjut baca,
http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/kisah-suryadi-dan-kebijakan-dakwah-pak-natsir