Oleh: Adian Husaini
Saat ini begitu banyak istilah keagamaan yang disebarkan ke tengah masyarakat. Ada yang mendorong kita menjadi muslim moderat. Tanpa ditambah kata ”moderat” pun, sebenarnya, Islam itu agama yang moderat. Umatnya disebut ”ummatan wasatha”, atau umat pertengahan. Umat Islam tidak boleh menjadi umat yang ekstrim, yang berlebihan dalam beragama.
Begitu juga, umat Islam adalah umat yang toleran. Umat Islam diperitahkan berbuat baik kepada umat manusia, meskipun berbeda agama. Ini ajaran Islam yang hakiki. Dan itu langsung diperintahkan oleh Allah dalam al-Quran serta dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw. Karena itu, menurut Karen Armstrong, tidak ada tradisi persekusi terhadap pemeluk agama lain dalam sejarah Islam. Sebab, dalam sejarahnya, umat Islam dikenal sangat toleran.
Karen Armstrong dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991), mencatat: “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire.”
Akan tetapi, dalam bersikap moderat dan toleran, umat Islam tidak perlu kehilangan keyakinan terhadap kebenaran ad-Dinul Islam, sebagai satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah SWT (QS 3:19, 85). Jangan sampai keyakinan akan kebenaran Islam dibenturkan dengan sikap moderat dan toleran.
Iman dan tauhid mensyaratkan kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan keimanan yang kokoh dan bebas dari kemusyrikan. Kita tidak dapat menerima paham-paham yang bertentangan dengan Tauhid, seperti paham yang membenarkan semua agama.
Sebagai contoh, ada satu buku berjudul “Kesalehan Multikultural” (2005) yang isinya banyak menggugat keyakinan umat Islam atas agamanya sendiri. Buku ini mengusulkan gagasan agar pendidikan berbasis Tauhid diganti dengan konsep ’Pendidikan Islam Multikultural’.
Ditulis dalam buku ini: ”Jika tetap teguh pada rumusan tujuan pendidikan (agama) Islam dan tauhid yang sudah ada, makna fungsional dan rumusan itu perlu dikaji ulang dan dikembangkan lebih substantif. Dengan demikian diperoleh suatu rumusan bahwa Tuhan dan ajaran atau kebenaran yang satu yang diyakini pemeluk Islam itu bersifat universal. Karena itu, Tuhan dan ajaran-Nya serta kebenaran yang satu itu mungkin juga diperoleh pemeluk agama lain dan rumusan konseptual yang berbeda. Konsekuensi dari rumusan di atas ialah bahwa Tuhannya pemeluk agama lain, sebenarnya itulah Tuhan Allah yang dimaksud dan diyakini pemeluk Islam. Kebenaran ajaran Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain itu pula sebenarnya yang merupakan kebenaran yang diyakini oleh pemeluk Islam.” (hal. 182-183).
Lalu, ditulis juga: ”Surga dan penyelamatan Tuhan itu adalah surga dan penyelamatan bagi semua orang di semua zaman dalam beragam agama, beragam suku bangsa dan beragam paham keagamaan. Melalui cara ini, kehadiran Nabi Isa a.s. atau Yesus, Muhammad saw, Buddha Gautama, Konfusius, atau pun nabi dan rasul agama-agama lain, mungkin menjadi lebih bermakna bagi dunia dan sejarah kemanusiaan... Tuhan semua agama pun mungkin begitu kecewa melihat manusia menggunakan diri Tuhan itu untuk suatu maksud meniadakan manusia lain hanya karena berbeda pemahaman keagamaannya.” (hal. 190).
Lanjut baca,