Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania
(Alumnus Program Kaderisasi Ulama DDII)
Wacana kepemimpinan di era modern yang tidak pernah sepi dari perdebatan adalah masalah kepemimpinan laki-laki dan wanita. Perdebatan, yang pada gilirannya telah melahirkan pemikiran-pemikiran ekstrim yang melepaskan diri dari pandangan hidup (worldview) Islam dalam menganalisis suatu perkara. Padahal Islam, telah mengajarkan prinsip-prinsip kempimpinan laki-laki maupun wanita sebagai panduan bagi manusia untuk menjalankan misinya sebagai khalifah di muka bumi.
Allah memberi pedoman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.....” (QS An-Nisa : 34).
Begitu juga dalam surat al-Baqarah ayat 228 dan beberapa hadits, menyebutkan tentang keutamaan laki laki atas wanita sehingga mereka diamanahkan tugas kepemimpinan. Ada dua posisi ekstrim dalam menyikapi masalah kepemimpinan ini. Pertama, mereka yang berpandangan, ayat-ayat tersebut adalah legitimasi untuk melakukan penindasan terhadap kaum wanita; menganggap mereka sebagai makhluk lemah yang diciptakan hanya untuk melayani kaum laki-laki. Pemikiran ekstrim ini merupakan warisan tradisi jahiliah, di mana peradaban selain Islam, baik di Timur maupun di Barat, menempatkan kaum wanita dalam posisi yang sangat rendah. Bahkan dalam peradaban Barat di abad pertengahan, wanita dianggap bukan manusia sehingga nasib kaum wanita tak ubahnya seperti binatang, yang tidak memiliki hak-hak pribadi apalagi hak publik.
Pandangan ekstrim pertama telah memicu timbulnya pandangan ekstrim lainnya, yaitu mereka yang menganggap wanita setara dengan laki-laki dalam berbagai hal, termasuk dalam masalah kepemimpinan. Sebagian dari mereka menganggap wanita memiliki banyak keutamaan dibandingkan laki-laki dan wanita tidak membutuhkan laki-laki dalam kehidupan mereka. Kemudian mereka melancarkan permusuhan dan perlawanan terhadap doktrin agama yang dianggap sebagai sumber utama dari penindasan wanita, serta aktif menyebarkan pemikiran tersebut untuk menanamkan mitos perasaaan tertindas dalam diri wanita.
Pandangan ekstrim kedua ini berasal dari gerakan feminisme yang malangnya diadopsi oleh banyak kalangan wanita Islam. Untuk melegitimasi pandangan mereka, dilakukanlah upaya penafsiran secara kontekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Kata mereka, wanita juga berhak menjadi pemimpin dalam segala hal, termasuk menjadi kepala rumah tangga. Sebagian, bahkan lebih ekstrim lagi: wanita boleh jadi imam shalat bagi laki-laki. Kasus Aminah Wadud jadi contohnya.
Islam adalah agama pertengahan yang mengharamkan sikap berlebih-lebihan dalam berbagai hal. Menurut ulama terkenal, Yusuf Qaradhawi, derajat kaum laki-laki dilebihkan satu tingkat atas kaum wanita, adalah dalam hal qawamah (kepemimpinan) dan tanggung jawab mengenai rumah tangga. Dengan tanggung jawab ini, kaum laki-laki memiliki lebih banyak kewajiban yang harus dipenuhi dari kaum wanita. (al-Qaradhawi, Pengantar Kajian Islam, 2002)
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/memahami-kepemimpinan-wanita-dengan-adil