Artikel ke-1.503
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tahun 1444 Hijriah, umat Islam Indonesia kembali menyaksikan dan mengalami perbedaan penetapan Idul Fithri. Ada yang sudah mengumumkan Idul Fithri tahun ini jatuh pada hari Jumat (21 April 2023). Ada juga yang menetapkan hari Sabtu (22 April 2023). Dua Ormas Islam – yang sama-sama menggunakan metode hisab – berbeda hasil ijtihadnya.
Al-Qurannya sama. Haditsnya sama. Bahkan, diantara dalil yang digunakan untuk menatapkannya pun sama, yaitu hadits Nabi: “shuumuu li-ru’yatihi wa-afthiruu li-ru’yatihi.” Keduanya memaknai “ru’yah” sebagai “melihat dengan ilmu”, yaitu ilmu hisab atau ilmu astronomi. Artinya, tidak perlu melakukan ru’yah bil-‘aini (melihat hilal dengan mata).
Soal beda pendapat dalam hal penetapan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, sudah berlangsung ratusan tahun, sejak masa sahabat Nabi Muhammad saw. Jadi, ini memang wilayah yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Karena itu, kalau suatu ketika terjadi perbedaan penetapan, ya patut disikapi dengan legowo.
Hanya saja, karena perbedaan ini terjadi di dalam hal ibadah yang berada di ranah publik secara luas, tentu diharapkan bisa dicarikan jalan menuju kesepakatan. Berbeda dan rukun memang indah. Tetapi, berhari raya bersama, di hari yang sama, tentu terasa lebih indah.
Demi ukhuwah dan persatuan umat, sepatutnya umat Islam Indonesia bermusyawarah dan membicarakan masalah ini dengan hati dan pikiran terbuka. Dalam soal ijtihadi, alangkah indahnya jika sebagian legowo meninggalkan pendapatnya. Harapannya, masyarakat bisa berhari raya bersama.
Pemerintah, para tokoh dan pimpinan Ormas Islam sudah saatnya melakukan muzakarah dengan serius. Ada banyak tantangan dan pekerjaan yang lebih berat yang harus diselesaikan, diluar masalah penentuan Hari Raya. Dalam hal-hal perbedaan yang bersifat publik semacam ini, sebaiknya diambil satu pendapat untuk diikuti bersama. Kita ini umat Islam Indonesia.
Masalah semacam ini tidak muncul di Malaysia, misalnya, karena keputusan Raja dijadikan pedoman penetapan. Begitu juga tidak muncul di Saudi, karena ditetapkan oleh pemerintah. Untuk Indonesia, menyatukan pendapat seperti itu tidak mudah, karena umat Islam sangat mandiri. Negara tidak mudah memaksakan keputusannya, seperti di Malaysia atau Arab Saudi.
Ulama besar, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi pernah menjawab panjang lebar keprihatinan seorang Muslim yang bersedih hati melihat kaum Muslim senantiasa berselisih dalam penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya. Beliau menjawab, bahwa berusaha untuk mempersatukan kaum muslim mengenai pelaksanaan puasa dan hari raya mereka serta semua syiar dan syariatnya merupakan sesuatu yang senantiasa dituntut untuk dilakukan. Jika kaum Muslim tidak mampu mencapai kesepakatan untuk berbagai kawasan di seluruh penjuru dunia, maka menurut Syeikh Qaradhawi, minimal wajib berobsesi untuk mempersatukan kaum Muslim dalam satu kawasan. Minimal, dalam satu negara. (Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jld II (terj), Jakarta :GIP, 1995 , hal. 315).
Itulah pendapat Syeikh al-Qaradhawi, yang belum tentu disepakati pula oleh banyak ulama atau tokoh di Indonesia. Memang ada perintah Allah dalam al-Quran : agar umat Islam mengikuti keputusan Ulil Amri: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu.” (QS an-Nisa:59). Dalam soal-soal yang bersifat publik dan menyangkut kemaslahatan umum semacam ini, seharusnya umat Islam Indonesia mengikuti Ulil Amri untuk memutuskan perkara diantara mereka.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/menikmati-perbedaan-hari-raya-idul-fithri