Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Akal menempati kedudukan sangat penting dalam Islam. Orang dibebani kewajiban menjalankan syariat jika dia sudah “mukallaf”, artinya, dia sudah baligh (dewasa) dan mempunyai akal. Jika hilang akalnya, maka dia bebas dari beban melaksanakan syariat. Itulah karunia Allah! Manusia bisa saja menuntut bebas dari melaksanakan syariat Allah, asalkan mereka sudah kehilangan akal.
Memang, dengan akal-lah manusia dikatakan sebagai manusia. Laulal aqlu la-kaanal-insaanu kal-bahaaim. Begitu sebuah ungkapan Arab yang bermakna: tanpa akal, maka manusia ibarat binatang. Manusia menjadi manusia, karena akalnya, bukan karena jasadnya. Lihatlah, seorang ahli fisika Inggris Stephen Hawking! Bertahun-tahun sebelum meninggalnya, tubuhnya lemah lunglai, terhempas di kursi roda, tanpa bisa berkata apa-apa. Tapi, jalan pikirannya tetap diperhatikan oleh dunia. Meskipun dia sekular, tetapi dia tetap dipandang sebagai manusia. Akalnya masih ada!
Akal yang sehat dapat memahami keberadaan dan kedudukan sesuatu dengan tepat. Akal yang sehat mengakui batas-batasnya dalam memahami segala sesuatu. Ada hal-hal ghaib yang berada di atas jangkauan akal (supra-rasional). Seperti kebaradaan RUH, Malaikat, alam akhirat, dan sebagainya. Akal yang sehat menerima kebenaran wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Sayangnya, kaum sekularis dan materialis tidak mengakui informasi yang berasal dari wahyu sebagai “Ilmu”. Bagi mereka informasi wahyu dianggap sebagai dogma, yang tidak bisa diilmiahkan. Informasi tentang RUH, alam akhirat, dan alam ghaib lainnya, tidak dikategorikan sebagai ilmu. Karena itulah, dalam struktur keilmuan yang banyak dipelajari di sekolah-sekolah atau Perguruan Tinggi sekarang, yang dimasukkan dalam kategori “sains” hanyalah hal-hal yang bisa diindera. Mereka tidak mengakui adanya Sains tentang akhirat, sains tentang sorga dan neraka.
Padahal, dalam Islam, informasi tentang sifat-sifat Allah, tentang Akhirat, adanya pahala dan dosa, tentang berkah, dan sebagainya, merupakan bagian dari Ilmu! Informasi tentang kenabian Muhammad saw, bahwa beliau menerima wahyu dari Allah SWT, adalah merupakan ILMU. Dalam QS Ali Imran:19 disebutkan, bahwa kaum ahlul kitab tidak berselisih paham kecuali setelah datangnya ILMU pada mereka, karena sikap iri dan dengki. Jadi, bukti kenabian Muhammad saw adalah suatu ILMU, yakni suatu informasi yang pasti kebenarannya.
Jadi, informasi tentang hal-hal ghaib adalah ILMU dan masuk akal. Sebab, informasi itu dibawa oleh manusia-manusia yang terpercaya. Karena sumber informasinya adalah pasti (khabar shadiq/true report), makan nilai informasi itu pun menjadi pasti pula. Sebenarnya, fenomena semacam ini terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita percaya, bahwa kedua orang tua kita sekarang ini, benar-benar orang tua kita, juga berdasarkan informasi dari orang-orang yang kita percayai. Karena semua orang yang kita percayai memberikan informasi yang sama – bahwa mereka adalah orang tua kita – maka kita pun percayai, meskipun kita tidak melakukan tes golongan darah atau tes DNA.
Seorang mahasiswa tidak akan pernah menjadi sarjana, jika dia benar-benar bersikap kritis. Saat dosennya menyatakan, bahwa ini adalah rumus Phytagoras atau hukum ini ciptaan Archimides, maka si mahasiswa yang mengaku kritis tadi, harusnya bertanya kepada dosennya, bagaimana Bapak tahu, bahwa rumus itu berasal dari Phytagoras? Bagaimana membuktikannya? Apakah Bapak melihat sendiri? Kenapa Bapak percaya begitu saja.
Tatkala kita menaiki pesawat terbang, kita dipaksa menjadi tidak rasional dan tidak kritis. Saat diumumkan, bahwa pesawat ini akan menuju suatu kota dengan ketinggian sekian, dengan pilot Si Fulan, maka kita pun percaya begitu saja! Padahal, kita tidak kenal sama sekali dengan para awak pesawat, tidak mengecek langsung, apakah si pilot benar-benar pilot atau pelawak.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/akal-yang-sehat-menerima-kebenaran-wahyu