Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Di kalangan ilmuwan atau pun masyarakat, masih ada yang menolak adanya sains Islam, yang berbeda dengan sains lainnya. Semua sains, kata mereka, sifatnya netral agama, atau bebas nilai. Ada lagi yang menyatakan, bahwa yang berbeda bukan sains-nya, tetapi falsafah sains-nya. Sebab, semua sains harus bersifat objektif.
Benarkah seperti itu? Kita perlu berhati-hati menjawab masalah ini. Jangan ada kesan, seolah-olah sains Islam itu secara total berbeda dengan sains modern. Dalam pidatonya, di Majelis Konstituante, 12 November 1957, Mohammad Natsir menyatakan:
"Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah atau pun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan saat ini belaka...
Di lapangan ilmu pengetahuan, Sdr. Ketua, sekulerisme menjadikan ilmu-ilmu terpisah daripada nilai-nilai hidup dan peradaban. Timbullah pandangan bahwa ilmu ekonomi harus dipisahkan dari etika. Ilmu sejarah harus dipisahkan dari etika. Ilmu sosial harus dipisahkan dari norma-norma moral, kultur dan kepercayaan. Demikian juga ilmu jiwa, filsafat, hukum, dsb. Sekedar untuk kepentingan obyektiviteit. Sikap memisahkan etika dari ilmu pengetahuan ada gunanya, tetapi ada batas-batas dimana kita tidak dapat memisahkan ilmu pengetahuan dari etika."
Jadi, menurut Mohammad Natsir, memang ada ilmu yang sekuler. Yakni, ilmu yang menolak wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan. Kata Mohammad Natsir: "Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan."
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/bahaya-ilmu-sekuler-menurut-mohammad-natsir




