BERILMULAH YANG BENAR, AGAR HIDUP BAHAGIA

BERILMULAH YANG BENAR, AGAR HIDUP BAHAGIA

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dalam bukunya, Tasauf Modern, Buya Hamka menyalin sebuah artikel karya Al-Anisah Mai berjudul ”Kun Sa’idan” (”Senangkanlah hatimu!”).   Dalam kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka ”senangkanlah hatimu!” Jangan pernah bersedih!

”Kalau engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit....”

”Dan jika engkau fakir miskin,   senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu...”

            ”Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu!

Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu...”

            ”Kalau tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab

penjajahan dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.”

            Sebagian orang mengejar kebahagiaan pada diri wanita cantik. Dia menyangka setelah mengawini seorang wanita cantik, maka dia akan bahagia. Tapi, tak lama kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang justru hidup merana dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan.

            Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut: ”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).

            Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia, meskipun harus dijebloskan ke penjara dan bahkan pernah dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.

Lanjut baca,

http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/berilmulah-yang-benar,-agar-hidup-bahagia

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar