Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam sejarah perjuangan Islam di Indonesia, ada satu babak menarik tentang usaha menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Perjuangan itu dilakukan oleh para tokoh Islam di BPUPK dan kemudian juga di Majelis Konstituante.
Majelis Kontituante, menurut pasal 134 UUD Sementara 1950, memang diberi mandat untuk merumuskan dasar negara. Para tokoh Islam berjuang semaksimal mungkin secara konstitusional, menawarkan konsep Islam sebagai dasar negara. Sementara, golongan kebangsaan, menolak agama dijadikan sebagai dasar negara, dan mengajukan Pancasila sebagai Dasar Negara.
Sebuah pidato penting tentang Islam dan sekularisme disampaikan Mohammad Natsir pada 12 Novemer 1957 di muka sidang pleno Konstituante, di Bandung." Dalam pidatonya, Natsir menyampaikan, bahwa bangsa Indonesia hanya punya dua pilihan dalam mengatur negara, yaitu dengan "sekulerisme" (la-diniyah) atau "agama".
Natsir menjelaskan definisi sekularisme: "Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum sekuleris tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dsb."
Perdebatan seru di Konstituante tentang dasar negara selama 20 bulan (November 1957-Juni 1959) itu akhirnya terhenti. Kedua golongan tidak dapat mencapai titik temu. Hingga sidang terakhir, sebanyak 203 suara mendukung Piagam Jakarta, dan 263 mendukung Pembukaan UUD 1945. Dari 263 suara itu, termasuk suara PKI sebanyak 80 orang. Para tokoh Islam tahu, bahwa PKI pasti berpura-pura menerima Pancasila.
Dengan berbagai pertimbangan, maka pada 9 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, yang isinya menyatakan, Indonesia kembali kepada UUD 1945 – meskipun ditambah dengan konsideransi: "… bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut."
Ahmad Syafii Maarif memberikan komentar terhadap isi Dekrit Presiden Soekarno tersebut: "Tercantumnya konsideransi sangat penting ini jelas merupakan suatu kompromi politik lagi antara pendukung dasar Pancasila dan pendukung dasar Islam. Menurut pertimbangan kita, bilamana konsideransi itu mempunyai makna secara konstitusional, dan memang seharusnya demikian, maka, sekalipun hanya secara implisit, namun gagasan untuk melaksanakan syariah bagi pemeluk agama Islam tidaklah dimatikan. Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam Jakarta." (Lihat, Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987, hlm. 181).
Meskipun mengalami kekecewaan, tetapi para tokoh Islam menerima Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah keluarnya Dekrit, Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: "Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD '45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD '45." (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997).
Dalam Peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, KH Saifuddin Zuhri, tokoh NU dan selaku Menteri Agama, mengatakan: "Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang jadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan Negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa." (Ibid, hlm. 135).
*****
Lanjut baca,