Artikel ke-1.494
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Para pendiri bangsa Indonesia sudah mengamanahkan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Begitu juga, ditegaskan: “…Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Jadi, dasar dan tujuan bernegara itu begitu jelas. Bahwa kita mengakui kemerdekaan kita adalah atas berkat rahmat Allah, negara ini berdasarkan atas (nilai-nilai dan ajaran) Ketuhanan Yang Maha Esa, dan tujuan akhirnya adalah mewujudkan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Dan Allah sudah memerintahkan: “berlaku adillah kalian, karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa.”. (QS al-Maidah: 8).
Rumusan alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 itu sungguh indah; sesuai dengan rumusan aqidah ahlus sunnah wal-jamaah; memadukan aspek rahmat Allah dan usaha manusia (kasab). Bangsa Indonesia berjuang merebut kemerdekaan dan kita mengakui, bahwa Allah SWT adalah yang menganugerahi kemerdekaan. Pengakuan itu kita letakkan dalam Pembukaan Konstitusi, dan biasanya dibaca setiap upacara bendera.
Dengan pemahaman seperti itu, sepatutnya bangsa Indonesia tidak boleh merasa angkuh, bahwa kemerdekaan itu diraih semata-mata karena usaha perjuangan rakyat. Tapi, kemerdekaan adalah anugerah Allah, sehingga kemerdekaan kita pahami sebagai nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri. Syukur, maknanya menggunakan nikmat itu sesuai dengan Yang Memberi Nikmat; bukan menuruti hawa nafsu kita. Semoga kita dan para pemimpin kita sadar akan makna penting dari kemerdekaan dan sopan santun dalam mensyukurinya.
Dan memang, sejarah membuktikan, peran ulama dalam perjuangan mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tercatat dalam tinta emas sejarah Indonesia. Bahkan, perjuangan mengusir penjajah, sering kali memadukan goresan tinta ulama dan kucuran darah syuhada.
Kini, setelah 80 tahun merdeka (tahun qamariyah), kita bisa menelaah, apakah tujuan kemerdekaan sudah terwujud? Apakah keadilan sudah terwujud dalam berbagai bidang kehidupan? Atau, justru terasa semakin jauh?
Mengapa itu terjadi? Kembalilah kepada rumus klasik Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin: “Rakyat rusak karena penguasa rusak. Penguasa rusak karena ulama rusak. Dan ulama rusak karena cinta harta dan cinta kedudukan!”
Kini, seolah-olah tanpa panduan ulama, negara merumuskan tujuan pembangunannya. Disebutkan, bahwa tujuan pembangunan nasional adalah agar Indonesia menjadi negara maju. Tahun 2045 ditargetkan akan terjadi “Indonesia Emas”, dengan pendapatan perkapita kita mencapai Rp 27 juta, per bulan. Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam yang sangat melimpah, dan jumlah penduduk yang sekarang lebih dari 270 juta jiwa.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/dicari:-presiden-yang-serius-membangun-jiwa-bangsa