Artikel ke-1.865
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Suatu saat seorang mahasiswa Ilmu al-Quran datang kepada saya. Ia berkisah, bahwa ada sejumlah temannya yang mau mengajar al-Quran asalkan mendapatkan imbalan yang tinggi. Jika tidak, maka ia tidak mau mengajar. “Bagaimana mengatasi hal seperti itu,” kata mahasiswa tersebut.
Saya menjawab bahwa mengajarkan ilmu yang bermanfaat adalah kewajiban. Rasulullah saw juga mengabarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya. Jadi, jika seseorang memiliki ilmu tentang al-Quran, tetapi tidak diajarkan atau tidak didakwahkannya, maka rugilah ia, karena ia tidak mendapatkan pahala yang begitu besar.
Ada kasus lain, saya bertanya kepada sejumlah santri penghafal al-Quran, negara mana yang paling maju? Banyak yang menjawab AS, Jepang, Inggris, Singapura, dan sebagainya. Anak-anak itu sudah terbiasa dengan pelajaran bahwa yang dapat disebut negara maju adalah yang “kaya”, yang memiliki pendapatan per orang mencapai sekitar 9000 USD per orang per tahun.
Saya sampaikan kepada mereka, bahwa al-Quran menyebutkan, negara yang hebat dan maju adalah negara yang mendapatkan berkah dari Allah. Dan Allah sudah berjanji, jika penduduk satu negeri beriman dan bertaqwa, pasti Allah akan bukakan pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi. Itu janji Allah! (QS al-A’raf: 96).
Karena itulah, negara yang paling maju di dunia adalah negara Madinah di masa Nabi Muhammad saw yang dilanjutkan dengan khulafaur-rasyidun. Itulah negara terbaik, yang harusnya menjadi MODEL negara ideal. Negara Madinah di masa Nabi itulah yang patut dijadikan teladan dalam proses pembangunan kita.
Jadi, al-Quran mengajarkan konsep-konsep yang indah dan memberikan solusi bagi problematikan umat manusia. Al-Quran adalah hudan lin-naas (petujuk untuk manusia). Maka, al-Quran memang tidak cukup hanya dihafal. Syekh Yusuf al-Qaradhawi memberikan nasehat penting kepada para penghafal al-Quran.
Menurut Syekh al-Qaradhawi maraknya aktivitas menghafal al-Quran adalah hal yang sangat baik. Hanya saja, patut diingat, aktivitas memahami dan mengamalkan kandungan al-Quran, lebih penting lagi. Karena itu, patut diberikan penghargaan kepada yang memahami al-Quran.
Menurut Syekh al-Qaradhawi, hafalan itu bukanlah segalanya. Dalam bahasa beliau, hafalan adalah sebatas “file” untuk menyimpan sebuah informasi. Nantinya, file ini perlu diolah dan dimanfaatkan. Bukan hanya dipendam dan didiamkan. Sebab hafalan itu bukan “tujuan” secara dzatnya (laisa maqshudan lidzaatihi) akan tetapi dia adalah “perantara” untuk sebuah hal lain (innama huwa maqshudun lighairihi)
“Dan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan umat muslim adalah, terlalu fokusnya mereka akan hafalan daripada pemahaman, juga memberikan porsi hafalan yang sangat berlebihan” ujar beliau.
Lanjut baca,
JANGAN BERHENTI DI HAFALAN AL-QURAN, HARUS SAMPAI PADA PEMAHAMAN YANG BENAR (adianhusaini.id)