JANGAN RAGU, AKAL MANUSIA BISA MERAIH KEBENARAN YANG PASTI

JANGAN RAGU, AKAL MANUSIA  BISA MERAIH KEBENARAN YANG PASTI

 

Artikel Terbaru ke-1.878

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dalam aspek keimanan, kaum Muslim disyaratkan mendasarkan kepada keyakinan. Iman itu sendiri adalah kepercayaan yang tanpa disertai keraguan sedikit pun (la rayba fihi). Keyakinan itulah yang  seharusnya ditanamkan kepada umat Islam. Para ulama dan cendekiawan Muslim selama berabad-abad telah menekankan masalah keimanan ini. Tidak pernah ada perbedaan diantara ulama Islam, kecuali sebagian kecil kalangan yang tepengaruh oleh paham sofisme (sufasthaiyyah).

Dalam epistemologi Islam, jelas, akal manusia bisa sampai kepada kebenaran yang pasti. Jika kebenaran itu diterimanya, maka akan menjadi keyakinan dalam hatinya. Karena itu, dalam bidang keilmuan Islam, dikenal istilah ‘mutawatir’, yakni suatu berita yang pasti kebenarannya dan tidak mungkin mengandung unsur kebohongan. Dalam penafsiran al-Quran, juga sudah dikenal dengan istilah ‘qath’iy’, yakni suatu penafsiran yang pasti kebenarannya, dimana para mufassir akan sama dalam memahami ayat-ayat tertentu dalam al-Quran. 

Karena ada kepastian akal itulah, maka ada kebenaran bersama. Di kalangan umat Islam, banyak kebenaran bersama yang diterima semua umat Islam, di manapun dia berada, dan di zaman apa pun dia hidup. Misalnya, pemahaman bahwa Allah adalah satu, Allah tidak punya anak, Muhammad saw adalah nabi – dan bukan anak Allah --, sorga dan neraka  adalah wujud, matahari lebih besar daripada bulan, Nabi Isa bukan Tuhan atau anak Tuhan serta tidak mati di tiang salib, dan sebagainya. Bergitu juga, dalam masalah-masalah hukum, semua mufassir al-Quran akan sama pendapatnya, bahwa shalat lima waktu adalah wajib, haji dilakukan di Tanah Suci, babi dan zina adalah haram,  dan sebagainya. Itulah yang disebut pemahaman yang qath’iy, yang pasti.

Dalam ilmu tafsir al-Quran, metode pemahaman itu sudah mapan dan disimbolkan penggunaannya dalam istilah-istilah yang ma’ruf dalam ilmu tafsir. Jika istilah-istilah baru yang berasal dari sistem keilmuan (epistemologi) lain dimasukkan dalam ilmu tafsir al-Quran, maka istilah-istilah itu bisa merusak sistem ilmun yang sudah ada. Apalagi, jika istilah-istilah itu dimasukkan dengan tanpa penjelasan yang memadai dan tanpa memikirkan dampaknya lebih jauh dalam keilmuan Islam.

Salah satu contoh dalam masalah ini adalah dimasukkannya istilah “nisbi” dan “mutlak” dalam penafsiran al-Quran. Ada yang mengatakan, bahwa,  “Al-Quran itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berasal dari yang Maha Mutlak. Tetapi penafsiran terhadap al-Quran itu tidak mutlak, karena berasal dari otak dan hati manusia yang serba nisbi. Karena itu, katanya, penafsiran al-Quran tidak pernah mencapai posisi mutlak benar.”

Terhadap pernyataan seperti itu kita perlu lakukan klarifikasi dan koreksi. Mungkin saja ada yang terjebak oleh logika dikotomis semacam ini. Yang perlu ditekankan, adalah bahwa al-Quran memang Kalamullah, tetapi al-Quran diturunkan untuk manusia. Allah tidak menuntut manusia menjadi Tuhan dan tidak mungkin manusia memahami al-Quran sama dengan Allah memahaminya. Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan.

Lanjut baca,

JANGAN RAGU, AKAL MANUSIA BISA MERAIH KEBENARAN YANG PASTI (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait