Artikel Terbaru ke-2.037
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Hingga kini, lazimnya, suatu perguruan tinggi dianggap hebat dan sukses jika memiliki banyak mahasiswa. Hal itu terkait dengan cara pandang yang menempatkan pendidikan sebagai satu bentuk industri. Jika omset penjualannya besar, maka disebut sukses. Semakin banyak mahasiswa dianggap semakin sukses pendidikannya, karena banyak peminat.
Berikutnya, dibuatlah konsep-konsep pendidikan yang menggunakan konsep bisnis. Mahasiswa dianggap sebagai konsumen atau pelanggan (customer), sehingga harus dituruti kemauannya. Dulu ada istilah “pembeli adalah raja”.
Tentu saja, pendidikan berbeda dengan bisnis. Sebab, inti pendidikan adalah penanaman nilai-nilai keadilan (inculcation of justice). Itu rumusan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Proses penanaman nilai keadilan itu bukan hal yang mudah. Perlu keikhlasan, kesungguhan, keteladanan guru, dan kesabaran yang terus-menerus.
Karena itu, semakin BANYAK mahasiswa, maka akan semakin TIDAK MUDAH pula proses penanaman nilai tadi berlangsung. Apalagi jika sejak awal sudah tidak paham akan makna pendidikan. Lebih parah lagi jika salah paham akan makna pendidikan, dimana pendidikan hanya dimaknai sebagai sekedar penyampaikan informasi pengetahuan atau pelatihan keterampilan tertentu.
Jika pendidikan tinggi hanya dimaknai sebagai proses melahirkan manusia-manusia yang bisa bekerja – tanpa penanaman nilai-nilai keadilan – maka hal itu jelas bertentangan dengan amanah Konstitusi. Tak henti-hentinya kita mengingatkan pemerintah, bahwa UUD 1945 pasal 31 (c) memerintahkan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Jadi, merujuk kepada UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi, aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia sepatutnya menjadi tekanan utama proses pendidikan di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Itu tataran normatifnya. Maka, sepatutnya, tujuan pendidikan itu dijabarkan dalam kurikulum, program pendidikan, dan evaluasi pendidikan.
Mahasiswa muslim yang akan ujian skripsi, misalnya, harus diuji aspek iman, taqwa, dan akhlaknya. Bukan hanya diuji kualitas akademiknya. Lucu, jika ada mahasiswa muslim lulus sarjana, tetapi tidak bisa membaca al-Quran dengan baik. Lebih parah, jika ia lulus sarjana, tetapi tidak disiplin dalam menjalankan salat lima waktu, atau jahat akhlaknya. Padahal, konstitusi kita mengamanahkan pembentukan akhlak mulia.
Peringatan Allah SWT dalam al-Quran sangat keras: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? (Itu) sangatlah dibenci oleh Allah, jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan!” (QS ash-Shaf:2-3).
Untuk menjalankan tugas mulia dalam pendidikan tinggi – yakni melahirkan sarjana-sarjana yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cerdas, kreatif, mandiri – maka model kampus yang unggul adalah yang kecil-kecil, seperti minimarket. Dan kampus itu sebaiknya menerapkan sistem pesantren (boarding).
Lanjut baca,