Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id).
Perilaku homoseksual Reyhnard Sinaga – pemerkosa ratusan pria di Inggris – ternyata ada juga pendukungnya. Si pendukung perilaku homoseksual ini bahkan menyalahkan masyarakat, karena menganggap homoseksual sebagai perilaku seksual yang tidak normal.
"Jadi prediksiku Reinhard sinaga ada masalah penerimaan dirinya sebagai gay," tulisnya. "Tahu siapa yang salah? Yang anggap hetero (heteroseksual) itu normal dan paling benar. Sama yg menyakini bahwa agamanya paling benar," tambahnya, "Cara berpikir itulah salah satu racun pd hdup manusia," tegasnya. (Lihat, https://www.kaskus.co.id/thread/5e1720f0a2d19505a239b39d/kasus-reynhard-sinaga-hartoyo--gak-usah-jelek-jelekin-gay/)
Itulah logika seorang yang mengaku sebagai gay dan mendukung perilaku gay. Jika diikuti logika dia, maka kesimpulannya, agar orang homo tidak menjadi pemerkosa seperti Reynhard, maka masyarakat harus menerima keberadaan dan perilaku homoseksual.
Logika itu jelas sesat, keliru, dan berbahaya. Bisa jadi muncul logika sesat lain: “Agar tidak terjadi penyalahgunaan miras dan narkoba, maka masyarakat harus menerimanya, sehingga pecandu miras dan narkoba tidak merasa tertekan!”
*****
Tahun 2004, di Kota Semarang terbit sebuah buku berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Buku ini adalah kumpulan artikel di Jurnal Justisia (edisi 25, Th XI, 2004), yang diterbitkan sekelompok mahasiswa di Semarang.
Buku ini antara lain memuat strategi gerakan legalisasi perkawinan homoseksual di Indonesia. Diantaranya : (a) Memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (b) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual.
Seorang penulis dalam buku ini mencoba membangun lagika sesat atas peristiwa sejarah Nabi Luth dan kaumnya. Ia mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks.
Ditulis dalam buku ini sebagai berikut: ‘’Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hlm. 39).
Bahkan, buku ini pun mencoba membangun logika yang menyesatkan seputar azab yang menimpa kaum Luth: “Luth yang mengecam orientasi seksual sesama jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk tidak mencintai sesama jenis. Tetapi ajakan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari kekecewaan inilah kemudian kisah bencana alam itu direkayasa. Istri Luth, seperti cerita al-Quran, ikut jadi korban. Dalam al-Quran maupun Injil, homoseksual dianggap sebagai faktor utama penyebab dihancurkannya kaum Luth, tapi ini perlu dikritisi… saya menilai bencana alam tersebut ya bencana alam biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa wilayah sekarang. Namun karena pola pikir masyarakat dulu sangat tradisional dan mistis lantas bencana alam tadi dihubung-hubungkan dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan terkesan mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi bencana alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia misalnya, banyak orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada bencana apa-apa.” (hlm. 41-42).
Padahal, al-Quran sudah memberikan gambaran yang amat sangat jelas, betapa keji dan terkutuknya perilaku homoseksual kaum Nabi Luth: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Ternyata, al-Quran pun sudah mengingatkan manusia, bahwa salah satu kiat SETAN dalam menyesatkan manusia adalah dengan cara memoles perbuatan maksiat, sehingga tampak indah dalam pandangan manusia. “Iblis berkata: Ya Rabbi, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, maka pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al-Hijr:39).
Al-Quran (al-An’am:112) mengingatkan, bahwa musuh para nabi adalah setan dari jenis manusia dan setan jenis jin. Pekerjaan mereka adalah menyebarkan “kata-kata indah” (zukhrufal qauli), untuk menipu manusia. Malik Bin Dinar, seorang ulama terkenal (m. 130 H/748 M) berkata: “Sesungguhnya setan dari golongan manusia lebih berat bagiku daripada setan dari golongan jin. Sebab, setan dari golongan jin, jika aku telah membaca ta’awudz, maka dia langsung menyingkir dariku, sedangkan setan dari golongan manusia dapat mendatangiku untuk menyeretku melakukan berbagai kemaksiatan secara terang-terangan.” (dikutip dari Imam al-Qurthubi, 7/68 oleh Dr. Abdul Aziz bin Shalih al-Ubaid, Menangkal Teror Setan (Jakarta: Griya Ilmu, 2004).
Na’uudzu billaahi minassyaithaanir-rajiim. (Depok, 16 Januari 2020).