Artikel ke-1.359
Oleh: Dr. Adian Husiani (www.adianhusaini.id)
Seorang rektor kampus terkenal di Sumatera – bersama beberapa dosen -- ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia kemudian diadili. Dakwaannya, sang rektor menerima uang suap milyaran rupiah, dari sejumlah calon mahasiswa Kedokteran. Beberapa mahasiswa dikenai tarif Rp 250 juta, agar bisa diterima di salah satu PTN tersebut.
Tentu, ini mengerikan! Seorang dokter bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan nyawa manusia. Apa yang akan terjadi jika sejak awal, niat dan caranya masuk Fakultas Kedokteran sudah salah.
Tapi, kisah seperti itu bukan cerita baru. Bertahun-tahun lalu, saya sudah mendengar dari sejumlah dosen Fakultas Kedokteran. Bahwa ada saja orang tua yang bersedia membayar ratusan juta rupiah, asalkan anaknya bisa kuliah di Fakultas Kedokteran.
Ada rektor sebuah perguruan tinggi swasta bercerita, ia menemukan sejumlah kecurangan dari calon mahasiswa yang mengikuti tes masuk Fakultas Kedokteran. Tawaran uang suap juga pernah ia terima. Tapi sang rektor itu memang dikenal integritas pribadinya yang tinggi, sehingga ia tidak menerima, bahkan menyesalkan usaha yang tidak benar itu.
Menjadi dokter masih menjadi impian banyak pelajar lulusan SMA. Untuk itulah, program studi (prodi) kedokteran termasuk yang “laku dijual”. Di sebuah prodi Kedokteran universitas swasta, saya mendapat kabar, bahwa uang masuk prodi Kedokteran di kampusnya sudah di atas 200 juta. Besaran SPP-nya mencapai Rp 25 juta rupiah per semester. Konon, ini termasuk yang paling murah, dibandingkan prodi kedokteran universitas lainnya.
Praktik-praktik kotor dalam penerimaan mahasiswa baru seperti itu, sepatutnya tidak terulang lagi. Praktik-praktik itu bisa terjadi karena salah paham terhadap makna pendidikan tinggi itu sendiri. Pendidikan Tinggi dimaknai sekedar proses latihan kerja, agar lulusannya mendapatkan pekerjaan bergengsi atau menghasilkan banyak uang. Itulah kesuksesan kuliah.
Sebenarnya, keprihatinan terhadap kondisi pendidikan kedokteran ini sudah pernah disuarakan oleh Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud (1999-2007). Ia pernah menulis artikel berjudul “Bom Waktu Fakultas Kedokteran”. Menurut Guru Besar emeritus ITB ini, besaran uang kuliah yang mencapai ratusan juta rupiah itu sangat tidak manusiawi dan tidak sepatutnya diberlakukan.
Begini kata Prof. Satryo: “Persepsi yang berkembang di masyarakat adalah bahwa fakultas kedokteran akan mendatangkan pendapatan cukup besar bagi perguruan tinggi dan dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan menerapkan uang pendaftaran dan uang kuliah yang sangat tinggi kepada para calon mahasiswa. Besaran uang tersebut bahkan mencapai ratusan juta rupiah, suatu besaran yang sangat tidak manusiawi dan tidak sepatutnya diberlakukan… Pada saat ini sedang terjadi komersialisasi pendidikan kedokteran yang jika dibiarkan terus akan menjatuhkan reputasi pendidikan kedokteran Indonesia,” tulis Prof. Satryo. (https://gagasanhukum.wordpress.com/2016/04/25/bom-waktu-fakultas-kedokteran/).
Kuliah di Fakultas Kedokteran adalah baik. Tetapi, ia harus dilakukan dengan niat dan adab yang baik. Jika mahasiswa salah niat, tidak mendahulukan adab, serta mengabaikan ilmu-ilmu fardhu ain, maka itu menjadi tidak baik, dan tidak beradab. Berikutnya, hal semacam ini akan menjadi musibah bagi dunia kedokteran di Indonesia.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/mengerikan,-mau-jadi-dokter-tetapi-dengan-menyuap