Artikel ke-1.498
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Film Buya Hamka yang mulai diputar 19 April 2023 telah memunculkan berbagai komentar dan analisis yang positif. Banyak yang menilai film ini memberikan pelajaran yang berharga bagi umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sosok, pemikiran, dan pejuangan Buya Hamka, mampu ditampilkan dengan baik oleh penulis skenario, sutradara, dan para pemainnya.
Namun, di beberapa group WA, sempat terbaca, bahwa Buya Hamka adalah seorang otodidak, alias belajar sendiri tanpa guru. Pendapat itu muncul karena Buya Hamka tidak menempuh pendidikan formal, sebagaimana banyak ilmuwan atau ulama saat ini, yang menempuh jenjang pendidikan tinggi, mulai S1 sampai S3.
Jika otodidak diartikan sebagai “belajar tanpa guru” maka Buya Hamka bukanlah ulama yang belajar tanpa guru. Justru, sejak kecil, Buya Hamka sudah dididik dan diarahkan oleh guru-guru yang hebat. Guru terpenting adalah ayahnya sendiri, seorang ulama dan pendidik yang hebat, bernama Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA).
Presiden Soekarno merupakan salah satu tokoh yang sangat menghormati HAKA. Bahkan, ia senantiasa menyebut dirinya sebagai anak angkat Syeikh Abdul Karim Amrullah – yang juga dikenal dengan nama Haji Rasul. Salah satu nasehat HAKA kepada Ir. Soekarno adalah: “Jangan terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati!”.
Meskipun di waktu kecil sempat mengalami hubungan yang kurang akrab dengan ayahnya, tetapi ayahnya terus berdoa dan berusaha agar anaknya ini menjadi ulama. Dalam autobiografinya Hamka berucap: “Akan selamatlah suatu bangsa kalau orang tua dan gurunya mengenal jiwa anak diwaktu demikian”
Oleh ayahnya, Hamka sempat dimasukkan di sekolah Desa atau disebut juga sebagai Sekolah Arab di Padang Panjang. Namun hanya sampai kelas dua, karena ia mengikuti ayahnya untuk pulang kampung pada dua bulan sebelum bulan puasa tahun 1918. Hamka lahir tahun 1908, jadi ketika itu usianya baru 10 tahun.
Disamping ayahnya, guru lain yang berperan penting dalam membentuk kecintaannya terhadap ilmu adalah Zainuddin Labay el-Yunusy – kakak kandung dari Rahmah el-Yunusiyyah, pendiri Diniyah Putri Padang Panjang. Disebutkan, bahwa Zainuddin Labay adalah seorang guru hebat yang berhasil membuka pikiran Hamka.
Sejak kecil, Hamka sudah dididik agar menjadi ulama, seperti keinginan ayahnya. Hamka dipindahkan dari Sekolah Desa ke Madrasah Tawalib. Pagi dimasukkan di Sekolah Diniyah, sore ke Sekolah Tawalib. Di Sekolah Diniyah ia diajarkan menulis dan membaca menggunakan huruf Melayu dan huruf latin, serta pelajaran-pelajaran agama. Adapun di Sekolah Tawalib ia mendapatkan materi nahwu, sharaf, fiqih, hadist dan lainnya.
Lanjut baca,