Artikel ke-1.499
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Prof. Sulistyowati Irianto -- Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia – meluapkan kejengkelannya terhadap kondisi dan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia. Pada 12 April 2023, ia menulis artikel di Harian Kompas dengan judul “Dosen Buruh”.
Artikel itu dibuka dengan ungkapan tajam: “Para ilmuwan Indonesia teralienasi dari karyanya sendiri karena tak memiliki roh kebebasan akademik dalam bekerja, sekadar memenuhi kewajiban administratif. Dosen menjadi manusia birokrasi, tak ubahnya sebagai buruh.”
Yang digugat oleh sang guru besar itu adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang jabatan fungsional dan angka kredit. Memang, Permenpan RB tersebut telah memicu protes keras dari banyak dosen.
Berikut ini kita simak lebih jauh tulisan Prof. Sulistyowati:
“Tugas utama dosen hari ini adalah melakukan kegiatan administratif pemerintahan. Ia wajib melaporkan kegiatannya setiap semester, dilampiri bukti dokumen, diunggah dalam aplikasi yang disediakan pemerintah, dan aplikasinya pun berganti-ganti. Pemenuhan capaian kuantitatif semata itu akan menentukan apakah tunjangan dosen tetap dibayar atau dihentikan.
Menjadikan dosen sebagai manusia birokrasi tak ubahnya menempatkan dosen sebagai buruh. Padahal, secara filosofis, universitas adalah lembaga khusus karena tugasnya memproduksi ilmu pengetahuan, tidak bisa disamakan dengan lembaga politik ataupun bisnis korporasi, dan harus terbebas dari kepentingan kekuasaan dan uang.
Menjadikan dosen sebagai buruh pemerintah melalui berbagai kebijakan sungguh merendahkan martabat dosen. Bahkan ada universitas yang mewajibkan absen finger print. Apakah mereka tidak paham bahwa dosen bekerja tidak seperti pekerja kantor biasa, yang bisa beristirahat begitu sampai di rumah? Para dosen bekerja terus dan berpikir sepanjang 24 jam tentang persiapan kuliah, penelitian, dan publikasi yang sedang ditulisnya.
Universitas adalah gerakan moral. Dosen juga berkewajiban mengembangkan kebudayaan yang tak bisa dilepaskan dari keilmuan. Kebudayaan tidak sebatas seni, tetapi esensinya adalah sistem berpikir, sistem berpengetahuan agar manusia bisa bertahan menghadapi lingkungan alam, berelasi dengan manusia lain, dan hari ini berhadapan dengan teknologi kecerdasan buatan yang sangat masif dampaknya bagi kehidupan manusia. Maka, dosen berkewajiban turut memecahkan masalah berat dalam masyarakat. Ketika dosen bersuara mengkritik berbagai pihak yang diindikasi merusak nilai kemanusiaan, dan lingkungan hidup, ia tidak sedang berpolitik, tetapi melakukan kewajibannya sebagai bagian dari gerakan moral.”
*****
Begitulah suara keprihatinan seorang guru besar UI tentang kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Sebenarnya, suara keprihatinan terhadap kondisi perguruan tinggi di Indonesia sudah lama disuarakan oleh banyak akademisi. Salah satunya justru disuarakan oleh Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, melalui satu artikelnya berjudul “Marginalisasi Perguruan Tinggi”.
Menurut Prof. Satryo: “Sampai detik ini, pemahaman publik tentang fungsi perguruan tinggi ternyata belum utuh dan masih salah kaprah. Kesalahan fatal ialah penempatan perguruan tinggi negeri sebagai unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara perlakuan terhadap perguruan tinggi swasta sebagai unit usaha dari yayasan atau badan wakaf… Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pembangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan manusia.” (Kompas, 29 Juni 2013).
Lanjut baca,