Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada hari ini, Sabtu (10/4/2021), puluhan kampus Islam berkumpul di Solo Jawa Tengah, untuk menghadiri Musyawarah Nasional (Munas) I Asosiasi Kampus Berbasis Akhlak Mulia (AKBAM). Tema yang diusung adalah: "Momentum Kebangkitan Perguruan Tinggi Islam".
Peristiwa hari ini bisa dikatakan sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia. Kita perlu menengok sejarah panjang perjuangan PTI di Indonesia. Tonggak pertama adalah pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 8 Juli 1945.
Kisahnya bermula dari Keputusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang pada akhir tahun 1944 membuat dua keputusan penting. Masyumi – ketika itu – adalah gabungan organisasi Islam di zaman Jepang. Jadi, ketika itu, bisa dikatakan, umat Islam Indonesia bersatu dalam satu organisasi bernama Masyumi, dengan pemimpin tertinggi (Ketua Majelis Syuro: KH Hasyim Asy'ari Rois Aam NU dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo, ketua Muhamamdiyah).
Dua keputusan penting Masyumi tahun 1944 itu adalah: pertama, membentuk barisan mujahidin dengan nama Hizbullah. Kedua adalah mendirikan Perguruan Tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam. Selanjutnya dibentuk Panitia Perencana STI yang dipimpin Muhammad Hatta.
STI resmi dibuka pertama kali pada tanggal 27 Rajab 1364 Hijriah atau 8 Juli 1945. Itu berarti 41 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI – 17 Agustus 1945. Susunan lengkap pengurus STI adalah: Ketua Badan Wakaf Said Wiratmana Hasan dan sekretaris Kartosoedarmo. Adapun Ketua Badan Pengurus/Kurator STI dijabat oleh Muhammad Hatta, sekretaris Mohammad Natsir, Rektor KH Abdul Kahar Muzakkir, Sekretaris Mohammad Natsir dan wakil sekretaris Prawoto Mangkusasmito.
Abdul Kahar Muzakkir menjabat rektor STI – yang tahun 1948 menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) – sampai tahun 1960. Ia adalah anggota BPUPK dan tahun 2019 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI. Sedangkan Prawoto Mangkusasmito adalah Ketua Umum Partai Masyumi terakhir. Upacara peresmian STI di Gedung Masyumi, Jalan Teuku Umar, dihadiri oleh sejumlah pergerakan nasional, seperti Bung Karno.
Ketika STI didirikan, telah ada sejumlah perguruan tinggi lain, seperti Technishe HOge School (THS, Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, Rechts Hoge School (RHS, Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta. Dan Geneeskundige Hoge School (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) Jakarta. Ketiga perguruan tinggi itu didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka Politik Balas Budi (Politik Etis). Jadi, STI adalah Perguruan Tinggi pertama yang benar-benar didirikan oleh tokoh-tokoh nasional Indonesia.
Keunikan lain, dosen-dosen STI ketika itu adalah para pejuang dan pemikir yang hebat, seperti Muhammad Hatta, Abdul Kahar Muzakkir, dan HM Rasjidi. Kualitas mahasiswanya pun cukup tinggi. Salah satunya, Soebianto Djojohadikoesoemo, paman Prabowo Soebianto. Ia dikenal sebagai mahasiswa anti-Jepang, yang memilih pindah ke STI dari Sekolah Tinggi Kedokteran.
Pada acara Dies Natalis ke-3, 10 Maret 1948, setelah pindah ke Yogyakarta, STI berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Ketika itu, Bung Karno memberi sambutan dan berpesan: "Dirikanlah pergedungan Universitas Islam Indonesia dengan corak nasional yang dijiwai Islam, dan hendaknya merupakan pergedungan yag trebesar di Asia Tenggara."
Pada tahun 1950, Fakultas Agama UII diambil alih oleh pemerintah dan dikembangkan menjadi IAIN. Sedangkan Fakultas Pendidikan UII, tahun 1951, diambil alih oleh UGM dan kemudian berkembang menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta – kini menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Lanjut baca,