Artikel Terbaru ke-2.219
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Guru Pesantren Attaqwa Depok)
Tiga faktor inilah sebab utama kekalahan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan! Yakni, cinta dunia, meninggalkan dakwah, dan berpecah belah! Bahkan, ketika umat Islam berada di puncak peradaban sains dan teknologi serta penguasaan ekonomi. Jika ketiga penyakit itu melanda, maka kekalahan akan menimpa umat.
Sejarah menunjukkan, grafik peradaban Islam terus menanjak sejak Hijrah Nabi tahun 622 M. Umat Islam terus meluas wilayahnya. Tahun 636 M, umat Islam sudah mengalahkan Romawi. Tahun 711 M, umat Islam memasuki Andalusia dan memimpin kawasan itu selama hampir 800 tahun.
Perkembangan peradaban Islam sempat terhenti dengan jatuhnya Kota Yerusalem tahun 1099 di tangan pasukan Eropa. Padahal, ketika itu, dunia Islam merupakan ‘superior’ dalam peradaban disbanding semua peradaban yang ada.
Islam sedang di puncak keemasan (The Golden Ages of Islam). Sementara Eropa berada dalam kegelapan (The Dark Ages of Europe). Islam, sebagai entitas politik, masih eksis. Kekhilafahan masih tegak, meskipun terbagi menjadi tiga kekuatan besar (Mesir, Andalusia, dan Baghdad). Fragmentasi politik cukup parah. Pada medio abad 11 M, Syria dan Palestina menjadi ajang rebutan antara Fathimiyah dan Abbasiyah. Fathimi mendominasi Jerusalem antara 869-1073. Sedangkan Abbasiyah menguasai Jerusalem antara 1073-1098.
Di tengah kehebatan peradaban Islam dan eksistensi entitas politik Islam itulah, justru pasukan Eropa berhasil merebut Jerusalem. Upaya penguasa Fathimiyah, Afdal bin Badr al-Jamali, untuk negosiasi dan berdamai dengan Salib ditolak. Semangat pasukan Salib sedang begitu tinggi untuk merebut Jerusalem. Mereka sangat percaya diri, meskipun lebih rendah tingkat peradabannya (hal yang sama terjadi saat Baghdad diduduki pasukan Mongol tahun 1258).
Friksi politik di kalangan Muslim menjadi salah satu faktor utama kekalahan Islam pada tahap awal Perang Salib. Respons Muslim sangat tidak memadai. Dalam buku The Crusades: Islamic Perspective (1999), Carole Hillenbrand, menggambarkan repons kaum Muslim yang sangat tidak memadai dalam menghadapi serbuan besar pasukan Salib.
Muslim didominasi sikap apatis, terbelit problem internal, dan kompromistis. Penguasa-penguasa Muslim di Syria, bukannya melakukan perlawanan terhadap pasukan Salib, tetapi malah berkompromi dengan musuh. Sebaliknya, the Franks justru menunjukkan semangat tinggi, fanatik (vibrant with fanaticism), dan memiliki motivasi tinggi untuk mencapai tujuannya (highly motivated to gain their target).
Pada situasi seperti itulah, tampil Syekh Ali al-Sulami (1039-1106), seorang ulama bermazhab Syafii. Ia menulis Kitab berjudul Kitab al-Jihad. Tampaknya, banyak ulama dan cendekiawan Muslim belum mengkaji Kitab ini. Yusuf al-Qaradhawi, dalam bukunya, Al-Imam al-Ghazali Bayna Madihihi wa Naqidihi, misalnya, sama sekali tidak merujuk karya al-Sulami, saat membahas posisi al-Ghazali dalam Perang Salib. Padahal, kitab ini sangat penting untuk memahami kisah sukses kaum Muslim dalam merebut kembali Jerusalem dari tangan Pasukan Salib– termasuk peran al-Ghazali di dalamnya.
Lanjut baca,