Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia/Pendiri Pesantren At-Taqwa Depok)
Pada Sabtu (23 Januari 2021), saya dijadwalkan mengisi kajian rutin Sabtuan di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), dengan tema: “Reformasi Pendidikan Nasional Pasca Covid-19”. Tema ini sangat penting bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Sebab, kualitas pendidikan akan menentukan masa depan bangsa kita.
Tapi, apakah memang Pendidikan Nasional kita perlu direformasi? Untuk menjawab pertanyaan itu, patut kita simak apa sebenarnya tujuan Pendidikan Nasional kita!
Pasal 31 ayat (c) UUD 1945 menyebutkan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Tujuan Pendidikan ideal itu juga ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Silakan menilai, apakah Pendidikan kita sudah menghasilkan manusia-manusia hebat, seperti yang digariskan dalam UUD 1945, UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi!
Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Prof. Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro, dalam satu artikelnya berjudul “Marginalisasi Perguruan Tinggi” menulis bahwa saat ini memang telah terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pembangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan manusia. “Padahal, esensi pendidikan yang sebenarnya adalah pembentukan kapasitas, kompetensi, etika, sosio-kultural, kematangan, daya nalar, kerangka berpikir, dan pengambilan keputusan, yang harus dimiliki peserta didik,” tegas Prof. Satryo. (Lihat: http://lldikti12.ristekdikti.go.id/2013/06/29/marginalisasi-perguruan-tinggi-oleh-satryo-soemantri-brodjonegoro.html).
*****
Di masa penjajahan Belanda, Ki Hajar Dewantara sudah memberikan kritik serius terhadap konsep dan praktik Pendidikan model Barat yang diterapkan penjajah. Pendidikan model kolonial, menurut Ki Hajar Dewantara: “… telah mencegah terciptanya masyarakat sosial mandiri dan merdeka lahir batin, hanya menghasilkan suatu kehidupan yang tergantung kepada bangsa-bangsa Barat.”
Tapi, Ki Hajar mengaku heran: “Banyak priyayi atau kaum bangsawan yang senang dan menerima model pendidikan seperti ini dan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan fisik dan semata-mata hanya memberikan surat ijazah yang hanya memungkinkan mereka menjadi buruh.”(Lihat buku: Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (I, Pendidikan), Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, 2013).
Benarkah kritik Ki Hajar itu? Silakan direnungkan!
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/reformasi-pendidikan-nasional-pasca-covid-19