Artikel ke-1.473
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tahun 2023 ini, Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia memasuki masa 53 tahun. Masa
itu dihitung ketika Nurcholish Madjid memberikan pidatonya pada 3 Januari 1970 di Jakarta dengan judul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.”
Dalam disertasinya di Monash University Australia – yang diterbitkan oleh Paramadina dengan judul “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” (1999) – Dr. Greg Barton menyebutkan, bahwa melalui makalahnya tersebut, Nurcholish dihadapkan pada satu dilema dalam tubuh umat. Di satu sisi, menurut Nurcholish, masyarakat Muslim harus menempuh arah baru, namun di sisi lain, arah baru tersebut berarti menimbulkan perpecahan dan mengorbankan keutuhan umat.
Ini kutipan kata-kata Nurcholish Madjid 53 tahun lalu, “… pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini...” Untuk itu, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’.
Sejak kemunculannya, gagasan Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Masjid itu telah memunculkan pro-kontra secara luas. Bukan hanya di kalangan orang biasa, tetapi juga di kalangan tokoh dan pemikir muslim kenamaan di Indonesia. Mohammad Natsir, HM Rasjidi, dan sebagainya, telah menyampaikan kritik-kritiknya terhadap gagasan pembaruan pemikiran Islam ini.
Karena kepeduliannya yang sangat besar dan serius terhadap gerakan sekularisasi, maka sejak awal mula, Mohammad Natsir sudah sangat mengkhawatirkan bahaya gerakan sekularisasi berbungkus jargon Pembaruan Islam. Muhammad Kamal Hasan mencatat, pada 1 Juni 1972, dilakukan pertemuan tokoh-tokoh di kediaman Mohammad Natsir. Saat itulah ia menyebut bahaya gagasan Pembaharuan yang ingin “menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam.” (Lihat, Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim (Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987).
Tahun 1972, Prof. HM Rasjidi menulis buku berjudul Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Jajasan Bangkit). Setahun kemudian, Rasjidi kembali menulis buku berjudul Suatu Koreksi Lagi bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973).
Dalam artikelnya di Harian Republika, 28 Desember 2007, yang berjudul “Menyoal Pembaruan Islam”, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (Gus Hamid) telah memberikan peta besar dan kritik terhadap gagasan pembaruan Islam. Menurut Gus Hamid, gerakan pembaruan Islam telah berlanjut menjadi liberalisasi Islam dalam wujud yang lebih ‘terbuka’ dalam membela konsep-konsep westernisasi dan membongkar konsep-konsep dasar Islam.
Tahun 2010, sebuah kritik mendasar dan sistematis terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid ditulis oleh Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Ketika itu Prof. Faisal Ismail menerbitkan bukunya yang berjudul Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam. Tahun 1995, Faisal Ismail menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada.
Lanjaut baca,