Artikel ke-1.787
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 23 Januari 2024, saya mengisi Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh IAIN Pontianak. Tema seminar itu ialah: “Revitalisasi Guru dalam Usaha Membentuk Guru yang Berkarakter dalam Pembelajaran Fiqih dan Perkembangan Nilai Agama.” Seminar itu dilaksanakan melalui media zoom.
Dalam seminar yang dihadiri mahasiswa Fakultas Tarbiyah itu saya menekankan pentingnya para guru memiliki kebanggaan terhadap aktivitasnya sebagai guru. Perubahan dan perbaikan pendidikan di Indonesia memang harus dimulai dari perbaikan dan kebangkitan guru. Dan itu bisa dilakukan tanpa harus menunggu presiden atau menteri baru.
Sebab, mungkin masih ada saja yang berharap akan adanya perbaikan guru jika Presiden yang terpilih nanti Anies, Prabowo, atau Ganjar. Padahal, siapa pun presidennya nanti, perbaikan guru itu harus dimulai dari guru itu sendiri; mulai dari worldview dan jiwa guru itu sendiri.
Perbaikan guru atau kebangkitan guru harus dimulai dari perubahan worldview sekular menjadi worldview Islam. Para guru dharapkan bisa mengubah cara pandangnya terhadap profesi guru, bukan hanya dalam perspektif materi dan keduniaan, tetapi juga dalam perspektif Ilahiyah dan ukhrawiyah.
Menjadi guru bukan hanya mendapat imbalan gaji atau honor, tetapi juga mendapatkan keridhaan Allah dan pahala jariyah, yang akan dipetik hasilnya di akhirat. Karena itu, para guru sepatutnya bangga jika bisa mengajarkan ilmunya. Itu artinya ilmunya bermanfaat dan berkah. InsyaAllah, ia akan panen besar di akhirat kelak.
Worldview sekular-materialis memandang suatu aktivitas dalam perspektif materi dan duniawi saja. Guru dianggap hebat diukur dari berapa imbalan yang ia terima di dunia ini. Jika ia mendapatkan honor atau gaji kecil, maka ia dianggap kurang beruntung.
Padahal semakin kecil gaji yang diterima guru, maka semakin besar pula nilai pengorbanannya, dan semakin besar pula nilai perjuangannya. Belum lagi jika ia terzalimi, yang membuka peluang doanya dikabulkan, lebih besar lagi. Karena itu, kemuliaan guru yang utama bukan diukur dari besaran gajinya, tetapi dari kemanfaatan ilmu yang ia berikan kepada para murid dan sesama manusia.
Dalam perspektif ini, maka para guru tidak patut merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan para calon wakil presiden atau anggota DPR. Lihatlah, para tokoh pendiri bangsa kita! Mereka adalah para guru yang hebat. HOS Tjokroaminoto adalah guru Bung Karno. Panglima Besar Soedirman adalah guru Muhammadiyah. Bung Hatta, Mohammad Natsir, Buya Hamka, dan sebagainya adalah para guru yang mengajar dengan lisan dan tulisan.
Para guru itu hakikatnya adalah kader-kader pemimpin umat dan bangsa. Mereka adalah pendidik sejati, yang mengajar dan menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada para muridnya. Guru sejati mendidik dengan hati.
Guru sejati bukan “tukang ngajar bayaran”, yang hanya mau mengajarkan ilmunya jika dibayar dengan jumlah tertentu. Kebahagiaan guru sejati adalah ketika dapat memberikan manfaat ilmu kepada orang lain. Apalagi, jika ilmu yang diajarkannya dipahami dan digunakan untuk kebaikan.
“Khairukum man ta’allamal Quran wa-‘allamahu -- Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya,” kata Rasulullah saw.
Jika muncul kesadaran bahwa guru adalah profesi mulia, maka insyaAllah, banyak anak-anak muda muslim yang cerdas, akan bangga menjadi guru. Orang tua bangga jika anaknya mengambil kuliah keguruan atau kuliah dakwah. Meskipun biaya mahal, kuliah itu akan ditempuh juga, mengingat begitu mulianya menjadi guru dalam pandangan Allah SWT.
Jadi, jangan rendah diri menjadi guru! Perubahan cara pandang terhadap guru inilah yang perlu dilakukan, jika ingin memperbaiki pendidikan nasional kita! Dan ini tidak perlu menunggu presiden atau menteri pendidikan yang baru. Ini bisa dimulai dari sekarang, dimulai dari keluarga dan lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Lanjut baca,
TAK PERLU NUNGGU MENTERI BARU, KEBANGKITAN GURU DIMULAI DARI GURU (adianhusaini.id)