Tragedi robohnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khozinī di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menyebabkan meninggalnya sejumlah santri, telah menjadi isu hangat dan sorotan tajam masyarakat Indonesia, terutama di media sosial.
adianhusaini.id, Depok-- Dr. Adian Husaini, Ketua Program Doktor Pendidikan Agama Islam UIKA Ibn Khaldun Bogor, membahas tiga aspek utama yang dipermasalahkan publik dari peristiwa duka ini, serta menjadikannya sebagai ujian dan momentum introspeksi bagi seluruh dunia pesantren.
Sorotan pertama publik adalah reaksi pimpinan pesantren Al-Khozinī, Sidoarjo, yang menyebut bahwa bangunan ambruk disebabkan oleh takdir Allah. Pernyataan ini menuai kemarahan dan kritik, seolah-olah Kyai tidak mau bertanggung jawab dan menyalahkan takdir.
Dr. Adian Husaini menjelaskan bahwa pernyataan Kyai tersebut, yang kemungkinan terpotong oleh media, sebenarnya sangat benar dalam konteks keimanan. Setiap peristiwa yang terjadi, baik dan buruk, adalah ketentuan Allah, dan setiap Muslim wajib beriman kepada takdir. Hal ini merupakan aspek keimanan yang harus diyakini di dalam hati.
Namun, aspek keimanan ini harus dibedakan dengan aspek syariat, yaitu hubungan antarmanusia dan sebab-akibat. Aspek syariat inilah yang kemudian membuka ruang untuk dikaji secara ilmiah dan ditelusuri sebab-akibatnya, mengapa musibah itu terjadi.
Penting untuk diingat bahwa publik sering kali memahami pernyataan "ini takdir" sebagai upaya melempar tanggung jawab. Dr. Adian Husaini berharap pihak Kyai memiliki kalimat yang utuh dan menunjukkan keinginan untuk bertanggung jawab, sehingga tidak terkesan menyalahkan Tuhan atau bersikap ceroboh. Ia juga menyarankan agar masyarakat bersikap hati-hati, menahan diri untuk tidak memberikan penilaian keliru yang bisa berujung fitnah, mengingat musibah ini adalah duka bersama seluruh dunia pesantren.
Isu kedua yang mencuat adalah dugaan bahwa bangunan pesantren Al-Khozinī tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini memicu penelusuran lebih luas yang menemukan data bahwa dari 42 ribu lebih pondok pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama, hanya sekitar 50 yang memiliki IMB.
Dr. Adian Husaini menegaskan bahwa jumlah pesantren di Indonesia lebih dari itu, bahkan bisa mencapai 50 hingga 60 ribu, banyak yang belum terdaftar di Kementerian Agama. Pesantren adalah lembaga yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka dan telah berjuang untuk kemerdekaan. Oleh karena itu, pesantren tidak bisa hanya diukur dengan standar legal formal semata.
Namun, tragedi ini harus menjadi pelajaran berharga untuk perbaikan ke depan. Pemerintah telah menunjukkan sikap simpatik, dan Dr. Adian Husaini berharap penyelesaian kasus Al-Khozinī dapat dilakukan secara bijak dan kekeluargaan.
Terkait masalah IMB, ia juga menganalisis bahwa jika dari puluhan ribu pesantren hanya sedikit yang memiliki izin, pemerintah juga perlu introspeksi. Apakah selama ini pesantren yang belum berizin pernah dinasihati, ditegur, atau ditawari bantuan untuk mempermudah pengurusan IMB? Pesantren pada dasarnya ingin memiliki bangunan yang layak, namun banyak yang berdiri karena tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan berkualitas.
Isu ketiga yang disorot, dan merembet secara luas, adalah tradisi khidmat yang dikaitkan dengan pembangunan, khususnya dugaan keterlibatan santri dalam mengecor bangunan. Beberapa netizen menilai ini sebagai tindakan yang berlebihan (over) bahkan mendekati feodalisme.
Dr. Adian Husaini, sebagai seorang santri, menjelaskan bahwa tradisi khidmat, seperti kerja bakti yang disebut ro'an (atau roan) di pesantren, adalah sesuatu yang dilakukan dengan senang hati, bahkan dianggap sebagai ibadah. Pada zaman dahulu, pesantren seringkali berdiri secara sederhana, tanpa menolak santri yang datang, dan para Kyai bekerja keras. Tujuan santri berkhidmat adalah untuk mencari keberkahan ilmu dan menghindari hal-hal yang dapat membuat hati Kyai sedih atau tidak rida.
Namun, ia menyadari bahwa di era modern ini, di mana segala sesuatu terekspos dan disebarluaskan di media sosial, pandangan orang modern dapat menilai praktik seperti santri ikut mengecor sebagai hal yang "ngeri". Pesantren kini hidup di zaman baru, menjadi "warga global," dan tidak bisa lagi berpikir secara internal seperti dulu.
Oleh karena itu, Dr. Adian Husaini menyarankan agar pesantren lebih berhati-hati. Jika ingin melibatkan santri dalam kerja bakti, sebaiknya:
- Mendapatkan seizin orang tua.
- Dipilih santri yang sukarela dan kuat.
- Bersifat selektif dan tidak setiap santri harus ikut.
Ia menegaskan bahwa keterlibatan santri dalam kerja bakti merupakan bagian dari pendidikan, dan ia tidak sependapat jika hal itu disebut semata-mata eksploitasi.
Tragedi Al-Khozinī menambah daftar kasus yang mencoreng nama baik pesantren, termasuk kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi sebelumnya. Dr. Adian Husaini melihat ini sebagai ujian besar bagi dunia pesantren, yang harus dijadikan bahan introspeksi.
Ia menekankan agar musibah ini tidak melemahkan semangat pesantren untuk bangkit menjadi lembaga pendidikan terbaik. Kekuatan pesantren terletak pada kemandirian dan kemampuannya bertahan ratusan tahun, bahkan tanpa bantuan pemerintah, seperti Pesantren Sidogiri. Dengan 42 ribu pesantren terdaftar dan perkiraan total santri mencapai 20-an juta, pesantren memiliki kekuatan yang dahsyat.
Pesantren adalah model pendidikan nasional yang ideal, bahkan direkomendasikan oleh Ki Hajar Dewantoro pada 1928, karena mampu menyatukan pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) serta sangat menekankan keteladanan, pendidikan akhlak, kemandirian, dan pengabdian masyarakat.
Namun, tantangan terbesar pesantren saat ini bukanlah sekadar kasus-kasus atau musibah, melainkan tantangan modernitas (the challenge of modernity), yaitu masuknya paham sekularisme dan materialisme yang menggerus jiwa cinta ilmu, dakwah, dan pengorbanan. Ketika jumlah santri sangat besar, peluang untuk mendidik, membina akhlak, dan menanamkan nilai menjadi lebih berat.
Hikmah dan Introspeksi:
- Introspeksi dan Evaluasi Diri: Pesantren tidak boleh terlena dengan banyaknya jumlah santri. Mereka harus fokus pada tujuan hakiki pendidikan.
- Kualitas Pendidikan: Penting untuk mendidik dengan kualitas yang excellent agar kepercayaan masyarakat tidak menurun. Lulusan pesantren harus lebih baik akhlaknya dibandingkan sekolah biasa.
- Mempertahankan Jati Diri: Pesantren harus mempertahankan jati diri sebagai lembaga pendidikan terbaik yang mengutamakan adab, keteladanan, tafakur fi al-dīn, jiwa mandiri, perjuangan, pengorbanan, dan pemahaman terhadap kondisi masyarakat kontemporer.
- Menghadapi Tantangan Pemikiran: Pesantren harus sadar bahwa masalah pemikiran seperti sekularisme dan materialisme tengah menggerogoti.
Dr. Adian Husaini berharap tragedi Al-Khozinī menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pesantren Al-Khozinī dan seluruh dunia pesantren, serta mendorong perbaikan sistem secara menyeluruh.
Link Video: https://youtu.be/ikEcmeuBFvs