Di tengah hiruk-pikuk konten digital, sebuah perbincangan serius tentang pemikiran keulamaan dan peradaban tersaji di kanal Dr. Adian Husaini. Tamu istimewa kali ini adalah Farel Ahmad Wijaksana, seorang santri muda berusia 18 tahun yang ternyata merupakan cicit dari ulama besar Indonesia, Buya Hamka.
Adianhusaini.id, DEPOK – Farel hadir untuk membahas karyanya yang akan segera terbit, sebuah kumpulan makalah dan artikel berjudul Hamka dan Westernisasi Indonesia. Buku ini, yang prosesnya masih dalam tahap penyuntingan, merupakan kumpulan sekitar 40 tulisan Farel yang memiliki tema dominan tentang respons Buya Hamka terhadap pembaratan di Indonesia.
"Isinya sangat serius, sangat berat," ujar Dr. Adian Husaini, menggarisbawahi keistimewaan karya seorang santri SMA ini.
Dalam diskusinya, Farel memaparkan analisisnya mengenai novel legendaris Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Farel berpendapat bahwa karya sastra tersebut mengandung pesan yang lebih mendalam daripada sekadar kisah cinta dua sejoli.
Menurutnya, novel tersebut adalah kritik sosial Buya Hamka terhadap kondisi pergaulan yang dipengaruhi oleh pembaratan. Farel mencontohkan bagian cerita ketika Zainuddin bertemu kembali dengan Hayati yang telah lama berpisah. Zainuddin kecewa dan marah ketika melihat Hayati mengenakan pakaian modern yang modis dan "agak menyingkap aurat" di kota, sangat berbeda dari penampilannya di kampung.
"Buya ini ingin menyampaikan tentang kritik sosial dari kondisi yang tengah terjadi di masyarakat," jelas Farel, seraya menambahkan bahwa kondisi ini bahkan masih relevan, atau mungkin lebih relevan, di masa sekarang.
Dr. Adian Husaini menimpali, mengingatkan bahwa penjajahan Belanda selama ratusan tahun tidak hanya diwarnai oleh peperangan, melainkan juga oleh kebanggaan sebagian bangsa Indonesia untuk mengikuti gaya hidup Barat, berbahasa Belanda, dan masuk ke sekolah Belanda. Fenomena ini sejalan dengan adagium Ibnu Khaldun, al-maghlub mulla'un abadan bi al-ghalib, yang menyatakan bahwa peradaban yang kalah cenderung mengikuti peradaban yang menang karena dianggap hebat.
Dalam makalahnya, Farel membagi respons Buya Hamka terhadap pembaratan ke dalam tiga bidang utama: pendidikan, politik, dan budaya.
Fokus pada bidang pendidikan, Buya Hamka melalui tulisan-tulisannya mengkritik orang-orang yang terlalu mengekor lulusan Belanda. Mereka yang masuk sekolah mulo dianggap sebagai orang intelek, padahal hanya bisa berbahasa Belanda dan tidak cakap di bidang lain. Hamka mengkritik pandangan ini dan menegaskan bahwa lulusan pesantren juga mampu menjadi intelektual yang "lebih keren".
Mengenai mengapa Buya Hamka tidak mendirikan pesantren, Farel menganalisis bahwa Buya Hamka adalah ulama yang berjuang lewat pena dan, yang lebih kuat lagi, melalui dakwah dan pidato langsung di tengah umat. Kehidupannya yang sangat aktif dan padat dengan panggilan dakwah membuat waktu untuk membangun institusi pendidikan formal atau mengurus pendidikan langsung anak-anaknya menjadi kurang.
Meskipun demikian, Farel meyakini bahwa ide pendidikan Buya Hamka, meski masih abstrak, dapat ditemukan inti-intinya di dalam karya-karya beliau seperti Tafsir Al-Azhar dan Pandangan Hidup Muslim. "Memang harus ada suatu usaha dari orang-orang setelah beliau... untuk mengungkapkan pemikiran beliau tentang pendidikan," ujar Farel.
Farel merupakan santri tingkat SMA di Pesantren Attaqwa Depok, yang memiliki sistem sekolah terbuka, memungkinkan santri untuk serius belajar di pesantren sekaligus menempuh pendidikan di SMA negeri.
Dr. Adian Husaini lantas menjuluki Pesantren Attaqwa sebagai "Sekolah Singa". Julukan ini merujuk pada filosofi pendidikan Profesor Syed Muhammad Naquib Al-Attas, yang juga diikuti oleh Attaqwa, bahwa pendidikan seharusnya melahirkan "anak-anak singa," bukan "anak-anak babi".
Filosofi ini dihubungkan dengan visi "Indonesia Emas" 20 tahun mendatang, yang akan diisi oleh "Garuda dan Singa".
Farel, yang dinilai memiliki potensi intelektual yang besar, diberikan kurikulum yang khas di Attaqwa. Kurikulum tersebut menekankan pada kajian pemikiran serius, di antaranya:
- Kajian pemikiran Buya Hamka (satu semester).
- Kajian pemikiran Ki Hasyim Asy'ari (satu semester).
- Konsep Ahlusunnah wal Jama'ah (satu semester).
- Kajian serius kata per kata buku Prof. Al-Attas Islam and Secularism.
- Kajian Filsafat Barat (tiga semester).
- Kajian ulama Nusantara, Sejarah Peradaban Islam, Ulumul Quran, dan kajian turats.
Selain membahas buku Hamka dan Westernisasi Indonesia, Farel juga memiliki makalah lain yang dimuat di buku tersebut, yaitu Bara Dalam Sekam Perjuangan Sultan Alam Bagarsyah Melawan Penjajahan. Di akhir perbincangan, terungkap pula bahwa selain mahir dalam kajian intelektual, Farel juga memiliki bakat seni seperti Buya Hamka. "Saya bisa main beberapa alat musik termasuk piano dan gitar dan sekarang lagi belajar dikit-dikit main drum," tutup Farel.
Link Video: https://youtu.be/pu-BP2JmvBc