BENARKAH TIDAK ADA KAWAN ABADI DALAM POLITIK

BENARKAH TIDAK ADA KAWAN ABADI DALAM POLITIK

Artikel Terbaru (ke-1.632)

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            ”Tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik!” Begitulah jargon terkenal dalam dunia politik. Buktinya, koalisi partai dalam pemilihan presiden di Indonesia, sering berubah-ubah. Begitu juga, seorang politisi bisa loncat sana-sini, pindah partai, demi meraih tujuan politiknya.

            Apakah memang begitu seharusnya berpolitik? Jawabnya: dalam batas tertentu, pernyataan itu bisa diterima. Tidak ada teman atau kawan yang abadi dalam politik. Tapi, ini tidak berlaku mutlak. Tergantung kita memberi makna pada kata ”politik” itu sendiri dan juga batasan yang disebut sebagai ”kawan”.

            Ketika umat Islam berjuang mengusir penjajah, maka perjuangan politik umat Islam memiliki tujuan yang jelas. Siapa saja yang mendukung perjuangan mewujudkan kemerdekaan adalah kawan dalam berpolitik. Siapa saja yang mendukung penjajahan, maka itu adalah lawan.

            Mungkin yang mendukung penjajahan adalah orang-orang beragama Islam. Dan mungkin pula yang melawan penjajah tidak beragama Islam. Tapi, politik Islam ketika itu memiliki tujuan jelas, yaitu merebut dan mewujudkan kemerdekaan. Di sini ada kawan abadi dan lawan abadi!

            Karena itu, bagi partai dan politisi muslim, berpolitik itu perlu jelas niat dan tujuannya. Berpolitik bukan sekedar usaha untuk meraih kekuasaan untuk kesejahteraan diri dan kebanggaan pribadi. Berpolitik harus diniatkan untuk beribadah kepada Allah dalam rangka melaksanakan tugas dakwah menegakkan tatanan kehidupan yang rahmatan lil-alamin.

            Jika niat dan tujuan berpolitik itu sudah benar, maka tentulah politisi muslim atau partai Islam akan memilih kawan yang sejalan dengan tujuan perjuangannya. Bisa saja tujuan berpolitik itu untuk mencegah terjadinya kemudharatan yang lebih besar terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia.

            Sebab, terkadang, situasi dan kondisi tidak memungkinkan politisi muslim untuk memilik baik atau buruk. Tetapi, mereka dihadapkan pada pilihan: buruk atau lebih buruk. Dalam kondisi seperti ini, berlaku kaedah:  pilihlah yang lebih kecil kemudharatannya.

            Umat Islam di AS, misalnya, pernah dihadapkan dua pilihan yang sulit. Pertama, memilih Hillary Clinton dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik. Keduanya memiliki plus-minus dalam kaitan dengan urusan umat Islam di AS dan juga dunia Islam.

            Donald Trump dan partainya lebih konservatif dalam menjaga nilai-nilai moral, tetapi lebih pro kepada zionis Israel. Sebaliknya, Clinton dan Partai Demokrat lebih liberal dalam soal kebebasan nilai-nilai moral, seperti dukungan terhadap LGBT. Maka, tokoh-tokoh Islam di AS pun bisa memiliki pandangan yang berbeda.

            Selama politik masih mempertahankan nilai-nilai idealisme, maka InsyaAllah, berpolitik masih bernilai ibadah. Dalam pandangan Islam, politik bukan sekedar alat untuk meraih kekuasaan. Politik semacam itu akan cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih kuasa. Yang penting dapat kuasa atau mempertahankan kuasa. Tidak peduli apakah kuasa itu didapat dengan cara yang baik atau tidak. Inilah yang disebut politik sekular, yakni politik yang sama sekali membuang unsur-unsur ilahiyat dan dimensi ukhrawiyah.  

Lanjut baca,

BENARKAH TIDAK ADA KAWAN ABADI DALAM POLITIK (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait