Artikel ke-1.377
Oleh : Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tahun 1961, pemerintah menetapkan KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres no. 657/1961. Dasar pertama penetapan Kyai Dahlan sebagai pahlawan nasional adalah: “KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.”
Kyai Dahlan tidak melawan penjajah secara fisik. Sebab, ketika itu, penjajah berusaha mengokohkan cengkeraman kukunya melalui jalan pendidikan. Tahun 1901, penjajah menerapkan Politik Etis dengan tujuan melepaskan umat Islam dari ketaatan kepada agamanya.
Salah satu perancang Politik Etis adalah Snouck Hurgronje. Dalam bukunya, Kawan dalam Pertikaian : Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung : Mizan, 1995), Karel Steenbrink, mencatat, bahwa menyelesaikan pendidikan bahasa dan sastra Arab di Leiden, Snouck mengunjungi Arab Saudi tahun 1885-1886. Dengan menyatakan memeluk Islam secara formal, Snouck dapat menetap di Mekkah selama enam bulan. Setelah itu, ia pergi ke Hindia Belanda (Indonesia).
Untuk mendapatkan kepercayaan dari kaum muslimin, ia bertindak seperti seorang muslim. Ia bekerja di Hindia Belanda sebagai penasehat untuk urusan pribumi sejak 1889-1906. Setelah kembali ke Belanda, sampai meninggal, ia tetap mempunyai pengaruh terhadap politik kolonial sebagai penasehat menteri untuk daerah-daerah koloni, terutama dalam bidang pendidikan dan agama.
Snouck membuat ringkasan teoretis tentang ‘’politik Islam’’ dalam empat kali kuliah yang ditujukan kepada Dutch East Indian Academy for Administrative Studies pada tahun 1911. Menurutnya, sistem Islam telah menjadi sangat kaku dan tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan abad baru. Hanya melalui organisasi pendidikan yang bersakla luas atas dasar yang universal dan netral secara agamis, pemerintah kolonial dapat ‘’membebaskan’’ atau melepaskan muslimin dari agama mereka.
Menurut Dr. Yudi Latif, atas saran Snouck Hurgronje dan JH Abendanon, dalam bidang pendidikan, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang bertujuan untuk mentranformasikan kalangan elite pribumi dari kalangan priyayi tradisional menjadi sebuah elite baru yang terdidik secara Barat.
”Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting, untuk melatih elite pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan itu juga bisa memangkas biaya-biaya administratif, menghambat ”fanatisme” Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia,” demikian ditulis oleh Yudi Latif, dalam bukunya, Pendidikan Yang Berkebudayaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2020).
Lanjut baca,