Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada hari Ahad, 31 Januari 2021, saya mengisi acara diskusi yang diselenggarakan mahasiswa Fakultas MIPA, Universitas Negeri Makasar (UNM). Ketika itulah, seorang penanya menyampaikan pandangan, bahwa Pluralisme justru diperlukan oleh bangsa kita, karena kodisi masyarakat kita yang plural, yang majemuk.
Menyimak pandangan tersebut, saya memahami, bahwa setelah 15 tahun umur fatwa MUI tentang Pluralisme, tampaknya masih banyak kalangan umat Islam yang belum paham tentang persoalan paham Pluralisme Agama. Karena itu, perlu diberikan penjelasan yang terus-menerus tentang bahaya Paham Pluralisme Agama yang telah diharamkan MUI, dalam Munas MUI ke-7 di Jakarta, 24-29 Juli2 2005. Fatwa MUI ini perlu terus digaungkan, agar tidak salah paham!
MUI mendefinsikan PluralismeAgama sebagai: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Definisi Pluralisme Agama versi MUI lebih merujuk kepada definisi empiris gagasan Pluralisme Agama yang selama ini dikembangkan para aktivis liberal di Indonesia. Tapi, secara akademis, Pluralisme Agama memang dimaknai sebagai paham yang menyatakan, bahwa semua agama adalah sama-sama benar dan sah!
Dalam bukunya, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994), Alister E. Mcgrath, menyebutkan, bahwa ada tiga cara orang Kristen dalam melihat agama-agama lain, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Tentang pluralisme, dijelaskan: “In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God.”
Jadi, dalam paham pluralisme, semua agama dianggap jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan. Tidak ada agama yang lebih hebat dibandingkan yang lain. Kaum Pluralis menolak klaim kebenaran dari tiap-tiap agama, lalu dengan gampangnya mengajak semua pemeluk agama memeluk satu teologi baru: semua agama sama-sama benar.
Gagasan persamaan agama ini pernah dibahas oleh Prof. HM Rasjidi, dalam bukunya Empat Kuliah Agama di Perguruan Tinggi, (Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 24-33). Disebutkan, misalnya, Dr. J. Verkuil pernah menulis buku berjudul, "Samakah Semua Agama?" yang memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana). Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja.
Seorang penulis buku berjudul “Islam Pluralis” menulis dalam bukunya: “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.”
Dalam sebuah buku berjudul “Lubang Hitam Agama”, ada ungkapan semacam ini: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!”
Lanjut baca,