Artikel Terbaru ke-2.106
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Di berbagai forum diskusi dengan guru, saya melontarkan pertanyaan: “Setujukah anda jika gaji guru dinaikkan?” Semuanya menjawab: “Setuju!” Saya katakan: “Kalau saya lebih suka gaji guru dicukupkan, bukan dinaikkan. Kalau naik tetapi tidak cukup bagaimana!”
Mengapa gaji guru harusnya dicukupkan? Sebab, para guru itu adalah para pejuang intelektual. Mereka bukan “tukang ngajar bayaran”, yang hanya mengajar kalau ada bayaran. Mereka adalah manusia-manusia mulia karena telah melakukan aktivitas paling mulia, yaitu mengajak manusia ke jalan kebenaran; mendidik manusia agar menjadi orang-orang yang berguna bagi dirinya, bagi keluarganya, dan bagi masyarakat serta bangsanya.
Karena itu, pemerintah atau siapa saja, jangan salah dalam memandang para guru. Apalagi guru-guru yang ikhlas yang namanya tidak terdeteksi oleh mesin pencari informasi. Para guru yang bertungkus-lumus, berjuang sungguh-sungguh mendidik masyarakat di berbagai pesolok dusun, hutan rimba, dan pulau-pulau terpencil.
Para guru pejuang itu bukan manusia biasa. Doa-doa mereka – insyaAllah – dikabulkan oleh Allah. Apalagi, jika mereka ikhlas dalam mengajar dan mendidik masyarakat, tetapi kondisi mereka dipandang rendah dan disia-siakan. KH Imam Zarkasyi menyebut para guru seperti itu merupakan “orang-orang besar” yang harusnya dilahirkan oleh pondok-pondok pesantren.
Para guru itu jangan disamakan dengan orang biasa. Jika mereka hadir dalam majelis-majelis perkawinan, harusnya mereka ditempatkan sebagai orang-orang penting. Doa-doa mereka insyaAllah dikabulkan oleh Allah, untuk keselamatan dan kebahagiaan pasangan keluarga yang baru menikah. Mungkin saja mereka tidak membawa sumbangan, tetapi doanya mudah dikabulkan.
Karena kedudukannya yang begitu mulia, maka negara sepatutnya memuliakan dan memprioritaskan mereka. Jam kerja mereka tidak dapat dinilai secara kuantitatif belaka. Bahwa, dalam sepekan, mereka harus bekerja sekian jam, seperti halnya karyawan pabrik sepatu atau pabrik obat nyamuk.
Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim dikisahkan, bahwa Khalifah Harun al-Rasyid – kepala negara terbesar Bani Abbasiyah -- mengirim anaknya untuk belajar kepada seorang ulama bernama al-Ashmaiy. Tujuannya agar anak Khalifah itu belajar ilmu dan adab.
Suaru saat, Harun al-Rasyid melihat anaknya menuangkan air untuk gurunya berwudhu. Tapi, satu tangan anaknya itu ‘menganggur’. Melihat pemandangan seperti itu, Harun al-Rasyid menegur al-Ashmaiy, dan berkata: “Sungguh, aku mengirim anakku kepadamu agar kamu menjadikan ia berilmu dan beradab. Mengapa kamu tidak menyuruh anakku itu menuangkan air dengan satu tangannya dan satu tangannya lagi kamu suruh mencuci kakimu?”
Begitulah cara Harun al-Rasyid (763-809 M) memuliakan guru. Anaknya disuruh mencuci kaki gurunya. Mungkin, sikap Harun al-Rasyid itu dipandang “aneh” untuk dunia pendidikan zaman sekarang. Ia begitu meletakkan posisi guru ditempat terhormat. Ia menekankan betapa pentingnya beradab kepada guru. Sebab, ridho guru adalah kunci meraih sukses, dunia akhirat.
Karena itulah, banyak ulama menulis kitab adab guru dan murid (Adabul Alim wal-Muta’allim), seperti Imam an-Nawawi dan juga KH Hasyim Asy’ari. Dalam kitab-kitab ini, sangat ditekankan pentingnya adab guru; bukan hanya adab murid.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/gaji-guru:-lebih-tepat-dicukupkan,-bukan-dinaikkan