Artikel ke- 1.813
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kekejaman Israel di Gaza semakin menjadi-jadi dan jelas-jelas merupakan satu bentuk genosida. Dengan kekuatan militernya, Israel terus-menerus membantai warga Palesina hingga korban mencapai lebih dari 27 ribu jiwa. Ratusan ribu bangunan diluluh-lantakkan. Jelas sekali, tujuannya adalah pembunuhan, pengusiran, dan pembasmian etnis bangsa Palestina.
Kecaman, aksi protes, boikot, dan sebagainya sudah dilakukan dunia. Tapi, Israel – seperti masa-masa sebelumnya – tidak peduli dengan semua itu. Jika kita buka kembali lembaran sejarah, jelaslah, semua ini sudah mereka rencanakan sejak munculnya gagasan pendirian Negara Yahudi Israel. Aksi-aksi kekejaman Isreal itu memang sudah dikonsepkan dan diterapkan selama puluhan tahun.
Pada tataran konsepnya, zionisme itu sudah menempatkan dirinya sebagai penjajah. Maka, yang bisa mereka lakukan untuk bertahan adalah melakukan kekejaman. Karena bangsa Yahudi adalah bangsa yang kecil, maka mereka harus kuat dan menggunakan kekuatan itu untuk melampiaskan ambisi mereka.
Konsep zionisme ini dimotori oleh Vladimir Jabotinsky (1880-1940). Ia mengemukakan secara tegas premis-premis esensial Zionisme yang telah diletakkan sebelumnya oleh Herzl, Weizmann, atau tokoh Zionis lainnya, meskipun tidak secara jelas.
Gagasan Jabotinsky bersifat sangat realistis, dengan memandang Zionisme politik sebagai suatu imperialisme, sehingga mustahil terjadi kerjasama atau rekonsiliasi antara Yahudi dengan Arab, sehingga harus dipersiapkan kekuatan.
Kata Jabotinsky: "Tidak akan ada pembahasan tentang rekonsiliasi sukarela antara kita dengan orang-orang Arab. Tidak untuk sekarang dan tidak untuk di masa datang. Semua orang yang berakal sehat, kecuali mereka yang buta sejak lahir, sejak lama telah memahami kemustahilan untuk bisa mencapai suatu kesepakatan sukarela dengan bangsa Arab Palestina bagi pengubahan Palestina dari sebuah negeri Arab menjadi sebuah negeri dengan mayoritas Yahudi.”
Menurut Jabotinsky, itulah langkah yang harus dijalankan oleh kaum Zionis jika ingin sukses dalam menduduki Palestina. Tidak masalah apakah dilakukan dengan paksaan dan kekerasan. "Paksaan harus memainkan perannya, dengan segala kekuatan dan tanpa keengganan," tegas Jabotinsky.
Setelah Deklarasi Balfour 1917, kaum Zionis makin leluasa melakukan aksi-aksi kekejemannya di Palestina. Mulai tahun 1936-1939, penduduk Palestina mulai melakukan perlawanan, baik melalui pemogokan sipil maupun pemberontakan bersenjata. Tapi, reaksi pemerintah mandat Inggris sangat keras. Sejak 30 Juli 1936 diberlakukan hukum Perang. Siapa pun yang dicurigai mendukung pemogokan ditahan. Rumah-rumah dirobohkan di seluruh Palestina.
Sebagian Kota Jaffa dihancurkan yang mengakibatkan 6.000 orang kehilangan tempat tinggal. Selama Palestina dalam pengawasan Inggris, 196 pejuang nasional Palestina dihukum gantung, 50.000 terbunuh, dan 300 orang dipenjara seumur hidup. Pemerintah mandat Inggris juga bekerjasama dengan kekuatan Zionis. Kekuatan-kekuatan bersenjata Zionis disatukan dengan intelijen Inggris, dan menjadi penopang polisi kekuasaan Inggris yang mengerikan. Tahun 1939, jumlah kekuatan angkatan bersenjata Zionis yang bekerjasama dengan Inggris sudah mencapai 14.411 orang.
Lanjut baca,
INILAH AKAR SEJARAH KEKEJAMAN ZIONIS YAHUDI DI PALESTINA (adianhusaini.id)