Artikel Terbaru ke-2.126
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tidak diragukan lagi, aktivitas “al amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘anil munkar” (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran) adalah kewajiban bagi setiap muslim. Tugas ini wajib dilakukan oleh seluruh kaum Muslimin, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Rasulullah saw sudah mengingatkan, agar siapa pun yang melihat kemunkaran, maka ia harus mengubah dengan tangan, dengan lisan, atau dengan hati, sesuai kapasitasnya. Namun, secara kolektif, umat juga diwajibkan melakukan aktivitas ini secara jama’iy (organisasi). Sebab, ada hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan secara individual (fardiy).
Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali menekankan, bahwa aktivitas “amar ma’ruf dan nahi munkar” adalah aktivitas yang menentukan jatuh bangunnya umat Islam. Hidup matinya umat tergantung pada aktivitas ini.
”Jika aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar’ hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajelela, satu negeri akan binasa. Begitu juga umat secara keseluruhan,” begitu pernyataan Imam al-Ghazali.
Allah SWT berfirman, yang artinya: “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah: 78-79).
Imam al-Ghazali menulis Kitab Ihya’ Ulumiddin ketika umat Islam dipimpin seorang khalifah, syariat Islam 100 persen diberlakukan, negara dalam keadaan makmur, dan pencapaian sains dan teknologi umat Islam berada jauh di atas bangsa-bangsa Eropa. Ketika itu Perang Salib sudah dilancarkan oleh Paus Urbanus II, tetapi Kota Yerusalem belum jatuh ke tangan pasukan Eropa.
Imam al-Ghazali menempatkan bab khusus dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Di bab inilah beliau menuliskan rumus kebangkitan dan kejatuhan umat: “rakyat rusak karena penguasa rusak; penguasa rusak karena ulama rusak; dan ulama rusak karena cinta harta dan cinta jabatan!”
Jadi, bahaya terbesar yang dihadapi umat Islam justru berasal dari kerusakan ilmu. Ilmu yang rusak melahirkan ulama yang rusak pula (ulama su’/ulama jahat). Ulama-ulama atau ilmuwan-ilmuwan jahat ini adalah produk Pendidikan Tinggi yang mengajarkan ilmu-ilmu yang salah.
Dari pendidikan tinggi yang salah inilah lahir konsep pendidikan yang salah, konsep pembangunan yang salah, konsep politik yang salah, dan sebagainya. Ujungnya, lahirlah ilmuwan, guru, orang tua, penguasa yang salah ilmunya dan salah pula akhlaknya, serta salah pula kebijakan yang dibuatnya. Rakyat pun jadi korbannya.
Lanjut baca,