Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada hari Rabu (25/8/2021), Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor meluluskan seorang doktor bidang Pendidikan Agama Islam bernama Dr. Tohirin, dosen di sebuah Universitas Islam di Jakarta. Ia menulis sebuah disertasi yang unik tentang "Paradigma Qur'ani Pendidikan Berbasis Jenis Kelamin Laki-laki dan Wanita".
Sebagai pembimbing disertasi adalah Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin dan Dr. Abbas Mansur. Pengujinya: Prof. Dr. Syaiful Anwar, Dr. Adian Husaini, dan Dr. Budi Handrianto.
Dalam ujian tersebut saya sampaikan, bahwa disertasi ini penting karena berhasil mendudukkan posisi yang tepat dalam dunia pendidikan antara laki-laki dan wanita. Iu juga sekaligus menjawab kekeliruan paham feminis-liberal yang menganggap peran sosial laki-laki dan perempuan adalah semata-mata produk sosial-budaya; bukan merupakan fitrah manusia.
Dengan meneliti kandungan ayat-ayat al-Quran, Dr. Tohirin mampu menghasilkan kaidah atau prinsip-prinsip dasar pendidikan bagi pria dan wanita. Karena itulah, saya menyarankan, agar disertasi itu diterbitkan oleh UIKA Bogor menjadi sebuah buku. Tentu saja, ada sejumlah perbaikan.
Ada beberapa kesimpulan penting dalam disertasi Dr. Tohirin tersebut. Pertama, "jenis kelamin" (laki-laki dan wanita) adalah ciri khusus yang terdiri dari identitas biologis dan peran sosial yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an tidak membeda-bedakan antara identitas biologis (sex) dengan peran sosial (gender).
Peran sosial (gender) erat hubungannya dan dipengaruhi oleh identitas biologis (sex). Dengan demikian peran jender adalah bawaan lahir (fithrah). Al-Qur'an bahkan mengenalkan identitas laki-laki dan perempuan lebih banyak dalam konteks perbedaan peran sosial masing-masing dalam kehidupan, ketimbang identitas biologisnya.
Kedua, laki-laki dan perempuan memang dibebani peran sosial yang berbeda-beda. Peran utama laki-laki adalah memimpin dan mencari nafkah yang merupakan representasi dari peran publik. Sedangkan peran utama perempuan adalah mengasuh anak dan mengurus rumah tangga yang merupakan representasi dari peran domestik.
Perbedaan peran ini merupakan bawaan penciptaan (fitrah) terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fii al-ardh. Namun demikian keduanya merupaka pasangan (azwaj) dimana perbedaan peran ini justru dapat memaksimalkan ketercapaian tugas ini.
Laki-laki dan perempuan harus dipandang sepasang dimana keduanya saling bergantung sama lain, tidak dihadap-hadapkan satu sama lain sebagai entitas yang mandiri dan saling terpisah. Namun demikian perbedaan tugas ini dalam beberapa hal dan dalam konteks tertentu tidak menutup kemungkinan untuk saling bertukar peran dalam rangka saling membantu satu sama lain (ta'awun) tanpa harus memalingkan tugas utama masing-masing.
Terhadap poin kedua ini, saya menekankan kepada Dr. Tohirin, bahwa dalam Islam, perbedaan peran ini tidak terkait dengan soal tinggi atau rendahnya derajat seseorang. Sebab, semuanya adalah dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Semua akan bertanggung jawab kepada Allah di akhirat nanti, apakah bisa menjalankan perannya dengan baik atau tidak. Kekeliruan kaum feminis-liberal adalah memandang rendah aktivitas wanita sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anaknya.
Ketiga, perbedaan jenis kelamin ini berdampak dan mempunyai konsekuensi logis pada dunia pendidikan. Pendidikan sebagai sarana untuk mendewasakan manusia harus memperhatikan perbedaan sifat dan peran sosial laki-laki dan perempuan. Pendidikan harus hadir sebagai sarana untuk mengembangkan potensi dasar manusia dalam rangka menjalankan peran dan tugasnya di muka bumi.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/inovasi-dan-keberanian-dr.-tohirin