Artikel Terbaru ke-2.223
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Beberapa pekan lalu, ada berita berjudul: “From Ujung Kulon To USA: Kisah Yani, Anak Penjual Nasgor Raih S2 di Harvard.” Berita-berita semacam ini bertebaran di media massa. Ada anak tukang becak kuliah S3 di Inggris; ada anak buruh tani bisa kuliah di kampus favorit. Ada anak pemulung bisa kuliah di Fakultas Teknik. Dan sebagainya!
Berita-berita semacam itu mungkin dimaksudkan untuk memberi pelajaran berharga, bahwa anak-anak orang miskin sekalipun bisa melanjutkan kuliah di kampus-kampus favorit. Tetapi, dengan diangkatnya latar belakang ekonomi dan sosial orang tuanya, tentu diharapkan, si anak itu akan mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan lebih tinggi dari orang tuanya.
Padahal, harapan-harapan semacam itu belum tentu bisa tercapai. Si anak diharapkan akan mengangkat derajat ekonomi keluarganya. Tetapi, yang lebih tepat adalah harapan bahwa si anak itu kuliah di mana saja, yang penting diniatkan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, agar bisa menjadi orang baik yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Belum tentu di anak akan menjadi orang kaya.
Harapan masyarakat agar anak-anak pintar bisa kuliah di kampus-kampus favorit agar bisa jadi orang kaya, berpotensi menjadi beban jiwa yang berat bagi si anak. Apalagi, di era disrupsi dan dominasi Kecerdasan Buatan (AI), suatu jenis pekerjaan bisa hilang, ketika si anak menjadi sarjana.
Banyak anak pintar dianggap beruntung bisa kuliah di fakultas kedokteran. Padahal, jadi dokter belum tentu jadi orang kaya. Dokter buka praktik belum tentu laku. Pandangan keluarga serta masyarakat sudah begitu besar, agar ia bisa menjadi dokter dan mendapatkan banyak uang. Mungkin ada dokter yang akhirnya terpaksa melakukan tindakan yang tidak sepatutnya demi memenuhi harapan keluarga untuk mendapatkan uang yang berlimpah.
Ada yang begitu bangga anaknya jadi polisi. Padahal, mereka tahu, gaji polisi tidaklah terlalu besar. Tapi, karena tekanan keluarga dan masyarakat, maka bukan tidak mungkin polisi itu terpaksa melakukan tindakan yang melanggar sumpahnya sendiri.
Kasus-kasus seperti ini menjadi santapan berita sehari-hari. Korupsi atau tindakan apapun dilakukan asalkan dapat menghimpun harta benda sebanyak-banyaknya. Demi meraih harta dan gengsi sosial, apa saja dilakukan. Tak peduli halal-haram lagi.
Untuk mencegah semakin maraknya budaya materialisme dan individualisme, sebaiknya para orang tua dan media massa tidak membuat narasi yang berlebihan tentang perkuliahan. Pola pikir serakah dunia itu harus diubah. Kesuksesan tertinggi seorang mahasiswa adalah ketika ia lulus sarjana dan menjadi orang yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Sarjana yang terjun membantu masyarakat di daerah-daerah pelosok adalah pribadi yang mulia, meskipun tidak bergelimang harta dan luput dari sorotan kamera. Ia menjadi orang berguna karena membina iman dan akhlak masyarakat.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/jangan-menambah-beban-jiwa-mahasiswa-kita