Artikel ke-1.507
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Beberapa hari lalu, di bulan Ramadhan 1444 H, saya kedatangan tamu seorang aktivis dakwah. Kami berbincang tentang berbagai hal. Salah satunya menyinggung pemikiran Mohammad Natsir tentang demokrasi. Sang tamu itu menilai, bahwa Mohammad Natsir adalah seorang penganut paham sekuler yang setengah-setengah, sehingga kalah melawan tokoh-tokoh yang sekulernya total, tidak setengah-setengah.
Tentu saja saya terkejut dengan pandangan tamu tersebut. Padangan itu jelas tidak didasari dengan satu kajian yang mendalam, tetapi hanya merupakan hasil pengamatan atau mungkin pendengaran yang sekilas. Ternyata, ia pun belum membaca pidato Mohammad Natsir yang mengritik sekulerisme secara komprehensif, di Majelis Konstituante, pada 12 Nobember 1957.
Dalam pidatonya di Majlis Konstituante itu, Mohammad Natsir mengkritik sistem pemerintahan sekuler dan juga pemerintahan teokratis.
”Teokrasi adalah satu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam sukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.” (Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001).
Partai Islam Masyumi ketika itu juga menegaskan dalam anggaran dasarnya, bahwa tujuan partai adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di Indonesia: "Tujuan Partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi." (Pasal III).
Gagasan dan perjuangan Mohammad Natsir dan para ulama serta tokoh Islam di Indonesia di Majelis Konstituante itu merupakan gagasan dan perjuangan yang idealis dan sekaligus realistis. Sebab, dakwah bukan berangan-angan. Tapi, dakwah harus dirumuskan tujuan dan langkahnya berdasarkan kondisi riil, dan tujuan umum dari diutusnya Rasulullah saw, yaitu untuk mewujudkan kehidupan yang rahmatan lil-alamin.
Ketika itu para ulama dan tokoh Islam Indonesia sudah bersepakat untuk menerima sistem demokrasi dan mekanisme perumusan dasar negara dan pergantian kekuasaan ditentukan melalui jalan pemilihan umum. Sistem inilah yang berlaku dan diterima oleh bangsa Indonesia, setelah merdeka dari penjajah.
Sebelumnya, para tokoh Islam di BPUPK, sudah mengajukan gagasan negara ideal menurut ajaran Islam. Tetapi, gagasan itu tidak diterima oleh sebagian besar anggota BPUPK. Maka, atas inisiatif Bung Karno, dirumuskanlah gagasan kompromi maksimal, berupa Piagam Jakarta.
Pada dasarnya, Piagam Jakarta adalah konsep kompromi dan otonomi ideologis, khususnya untuk umat Islam. Sebagai perwujudannya, umat Islam Indonesia diberi otonomi untuk menjalankan pendidikan Islam, ekonomi Islam, sistem peradilan Islam, dan lain-lain.
Lanjut baca,