Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Selasa (31/8/2021) malam, saya mengisi acara diskusi tentang wacana Childfree yang diselenggarakan oleh Center for Islam and Occidental Studies (CIOS) – Universitas Darussalam Gontor Ponorogo. Acara dengan media Zoom ini diikuti oleh lebih dari 700 peserta. Ini untuk kesekian kalinya saya menyampaikan paparan tentang childfree, yang sedang marak belakangan ini.
Dari sejumlah pertanyaan yang diajukan, tampak bahwa masalah ini cukup menyedot perhatian luas, karena terkait dengan memanasnya diskusi tentang feminisme dan liberalisme. Merebaknya isu childfree juga didorong oleh peranan media sosial yang semakin dominan dalam kehidupan masyarakat kita.
Dalam acara tersebut, saya menekankan agar dalam memahami masalah childfree janganlah lepas dari pijakan "Pandangan Hidup Islam" (Islamic Worldview). Yang terpenting adalah bagaimana memahami Tuhan kita; bagaimana memandang diri kita; dan juga memahami apa yang terjadi setelah kita mati. Dalam kasus childfree, perlu dipahami konsep Islam tentang kedudukan laki-laki dan perempuan, baik sebelum atau pun sesudah menikah. Juga, hakikat dan tujuan berkeluarga.
Dalam acara itu ada seorang penanya yang mengaku sudah mengambil keputusan untuk "childfree" bersama istrinya, karena sebab-sebab tertentu. Menjawab hal itu, saya menekankan agar sang penanya tadi memperkuat pemahaman terhadap konsep Islam tentang keluarga dan juga tentang orientasi kehidupan di Akhirat.
Anak adalah amanah. Jika memahami tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, maka memiliki anak berarti menambah potensi untuk meningkatkan ibadah atau taqarub kepada Allah SWT. Dalam pandangan Islam, mengandung janin adalah satu bentuk ibadah; melahirkan adalah ibadah, mengasuh anak itu ibadah; menyusui anak juga ibadah; memberikan berbagai hal yang bermanfaat kepada anak adalah ibadah.
Karena itulah, maka sangat merugi jika orang tua diberi kesempatan dan peluang untuk memiliki anak, tetapi peluang ibadah itu tidak dimanfaatkan. Jika merasa khawatir akan menyengsarakan kehidupan anak, maka kewajiban orang tua adalah mengasuh dan mendidik semaksimal mungkin. Selebihnya, serahkan hasilnya kepada Allah SWT.
Ada lagi yang bertanya, bahwa daya tampung wilayah Indonesia ini sudah semakin sempit, lingkungan rusak, polusi semakin meningkat. Maka, jika para orang tua memiliki anak, semakin meningkat pula kerusakan lingkungan kita. Penduduk semakin berdesakan karena jumlah penduduk yang semakin meningkat.
Menjawab hal itu, saya sampaikan, bahwa saya sudah berkunjung ke banyak daerah di Indonesia. InsyaAllah wilayah Indonesia dengan belasan ribu pulau ini sangat mencukupi untuk menampung penduduk sampai 500 juta sekali pun. Bukan hanya wilayahnya yang amat sangat luas, Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang masih melimpah.
Tidak perlu khawatir tentang hal ini. Hanya saja, yang perlu dievaluasi adalah kurikulum pendidikan yang mencerabut para pelajar dan mahasiswa dari lingkungan budaya asalnya. Pendidikan "terlalu" berat kepada aspek industri. Akibatnya, anak-anak berbondong- bondong melakukan urbanisasi ke kota-kota besar.
Cara pandang seperti itulah yang perlu dijelaskan dengan sangat hati-hati. Jangan sampai dianggap bahwa ajaran Islam hanya mau memperbanyak anak saja. Saya berkali-kali menyampaikan kepada para hadirin, bahwa Islam itu memiliki ajaran yang adil dalam menempatkan posisi anak dalam kehidupan keluarga dan juga masyarakat.
Disamping Rasulullah saw mendorong kita untuk memiliki anak banyak, tetapi patut diingat, ada ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang menekankan pentingnya pendidikan anak. Di sinilah para orang tua diwajibkan mencari ilmu untuk bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Sebab, anak manusia yang mendapatkan pendidikan yang salah, bisa berakibat buruk terhadap diri, keluarga, dan masyarakat. Manusia yang salah didik – sehingga tidak beriman dan tidak berakhlak mulia – akan lebih berbahaya dibanding anak sapi atau anak babi.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/mengapa-diskusi-childfree-marak




