MENGENANG LIMA TAHUN KOLOM “NYANTRI ATAU MATI”

MENGENANG LIMA TAHUN KOLOM “NYANTRI ATAU MATI”

Artikel ke-1.868

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Lima tahun lalu, Majalah Hidayatullah edisi April 2019 memuat tulisan saya berjudul “Nyantri atau Mati” dalam kolom opininya. Gagasan dalam artikel itu sangat penting dan masih tetap relevan untuk terus digaungkan sekeras-kerasnya. Sebab, tantangan pendidikan di era disrupsi ini sedang dan akan terus berlangsung.  Karena itu, kolom Nyantri atau Mati itu patut kita simak petikannya berikut ini:

*****

            “We didn't do anything wrong… but then we lost,” ujar Stephen Elop, CEO Nokia sebelum menyerahkan divisi handset perusahaannya kepada Microsoft. Nokia tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi, perusahaannya hilang.  Produknya kalah, tergusur. Pasar tak minat lagi.

            Rhenald Kasali, dalam bukunya, Disruption (2018), mengomentari kasus tersebut: “Itulah sustaining innovation yang dulu dianjurkan para ahli. Kini, hal ini tak cukup lagi. Ini menjadi persoalan besar pada abad ini sebab kini dunia tengah menyaksikan tumbangnya merek-merek besar yang tak pernah kita duga akan secepat ini terjadi. Tanpa kesalahan apa pun.”

            Di tengah badai perubahan, inovasi yang rutin (sustaining innovation) saja tak cukup. Yang diperlukan ‘disruptive innovation’.  “Kita lebih baik menggunakan disruption untuk pembaruan ketimbang melakukan tindakan sia-sia,” begitu saran Rhenald  Kasali.

            Lalu, bagaimana dengan para akademisi? Jika kuliah para akademisi terkemuka dan kelas dunia sudah bisa diakses gratis melalui internet, bagaimana nasib para akademisi lain? Bagaimana nasib kampus-kampus yang ada?

            “Jangan-jangan kampus besar nanti hanya akan menjadi semacam event organizer yang berperan menayangkan kuliah dari profesor-profesor dan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Lalu, kita akan menjadi apa? Tentu dengan cepat saya mengatakan, bukan pekerjaan yang hilang, melainkan job-nya yang berubah,” tulis Rhenald.

            Menurut Rhenald, guru dan dosen adalah profesi yang akan selalu dibutuhkan. Namun, job-nya tak lagi sama dengan guru atau dosen yang selama ini kita kenal. Guru dan dosen hadir untuk memberi panduan untuk mendapat sikap mental baru dan mengedepankan “deep understanding”.

            Tahun 2017, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menerbitkan buku berjudul “Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia”. Disebutkan: “Dalam menghadapi era disruptif seperti saat sekarang ini, apalagi di masa depan, diperlukan perubahan berpikir yang mendasar dan bukannya perubahan yang di pinggir-pinggir (changing from the edge). Tanpa kerja ekstra keras, berpikir ke depan yang bercorak out of the box, penentuan tata urutan waktu yang jelas, perguruan tinggi Indonesia akan terus berada di buritan peradaban keilmuan.”

Lanjut baca,

MENGENANG LIMA TAHUN KOLOM “NYANTRI ATAU MATI” (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait