Paradoks Kampus Dunia, Antara Pengejaran Peringkat dan Nasib Lulusan

Paradoks Kampus Dunia, Antara Pengejaran Peringkat dan Nasib Lulusan

Oleh: Dr. Adian Husaini

Sebuah tulisan menarik berjudul "Paradoks Kampus Dunia: Ranking, Sarjana Menganggur, dan Magang Dibayar" belakangan beredar luas di berbagai grup WhatsApp, bahkan menyentuh perhatian para dosen. Tulisan yang disebut penulisnya "ans Buiten Zork" (tertanggal 26 Oktober 2025) ini terasa begitu relevan dan "mengena" dengan kondisi pendidikan tinggi di Indonesia saat ini.

Kampus Lebih Sibuk Memoles Citra

Kita hidup di era di mana institusi pendidikan tinggi terlihat lebih sibuk memoles citra diri daripada sungguh-sungguh memperbaiki nasib para lulusannya. Brosur universitas kini menyerupai katalog kecantikan akademik, penuh dengan klaim dan label seperti World Class University, top 200 QS ranking, sustainable campus, hingga AI driven learning environment. Lengkap dengan logo ISO, drone shot gedung baru, dan testimoni alumni yang, jika jujur, seringkali bekerja di bidang yang tidak ada hubungannya dengan jurusan kuliah mereka.

Ironisnya, di tengah gemerlap citra ini, para sarjana—yang seharusnya menjadi produk unggulan sistem pendidikan nasional—justru berbaris rapi di antrean job fair. Mereka menyerahkan CV sambil berharap mendapatkan lowongan "magang dibayar," yang tak jarang hanyalah pengganti nama untuk "kerja tanpa kontrak."

Ilusi Global, Ironi Lokal

Subjudul tulisan yang beredar tersebut menyoroti "Ranking Dunia: Ilusi Global, Ironi Lokal." Universitas-universitas besar di Indonesia, seperti UI, ITB, dan UGM, kini berlomba-lomba menaikkan peringkat dunia. Indikator dari lembaga seperti QS dan Times Higher Education seolah menjadi kiblat baru, menciptakan kesan bahwa masa depan bangsa bergantung pada peringkat yang dibuat oleh lembaga di London, yang bahkan mungkin tidak mengetahui letak Sleman di Jawa.

Akibat obsesi pada peringkat ini, arah riset sering kali bergeser. Riset tidak lagi difokuskan untuk menjawab persoalan fundamental negeri seperti stunting, ketimpangan energi, atau birokrasi yang absurd. Anggaran riset justru diarahkan untuk memenuhi indikator internasionalisasi. Kampus bertransformasi menjadi "pabrik akreditasi," disibukkan dengan target publikasi Scopus, menarik mahasiswa asing, dan mendatangkan dosen tamu dari luar negeri. Padahal, mahasiswa di dalam negeri masih berjuang keras mencari tempat magang yang relevan dengan bidang studinya, bukan sekadar berakhir membuat kopi.

Sebuah kutipan dari tulisan itu merangkum ironi ini dengan tajam: Jika Plato masih hidup, ia mungkin akan menulis ulang Republik versi Indonesia. "Negara yang sibuk memoles ranking kampusnya tapi lupa mengangkat harkat mahasiswanya adalah negara yang sedang magang di peradaban."

Fokus Utama Pendidikan: Kompetensi dan Akhlak.

Kondisi perguruan tinggi ini perlu mendapat perhatian serius. Dalam sebuah diskusi dengan pimpinan kampus terkenal di Sumatera, saya menekankan bahwa fokus utama dalam pendidikan seharusnya adalah kompetensi, bukan sekadar urusan administrasi seperti jumlah SKS.

Yang lebih penting untuk ditanyakan adalah: lulusan kita mau jadi apa? Apa kompetensi yang kita harapkan dari mereka? Pertanyaan ini lebih krusial daripada sekadar menanyakan "sudah belajar apa saja" atau "berapa lama mereka belajar." Apalagi di era disrupsi ini, di mana informasi, ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi begitu melimpah—seperti yang saya tulis dalam buku Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi—fokus pada kompetensi dan arah lulusan menjadi mendesak.

Kita harus menghindari situasi di mana anak-anak kita, setelah minimal 18 tahun mengenyam pendidikan (TK, SD, SMP, SMA, dan S1), lulus dalam kebingungan mencari arah.

Lebih menyedihkan lagi, di negara Muslim terbesar di dunia dengan tingkat religiusitas tinggi, masih ada temuan bahwa jutaan Muslim tidak bisa membaca Al-Qur'an. Dalam konteks pendidikan tinggi, jika seorang lulusan S1 Muslim tidak memiliki adab dan akhlak yang baik kepada orang tua, tidak memiliki semangat belajar dan berbagi ilmu yang tinggi (himmatul aliah), serta tidak memiliki keberanian (saja’ah) untuk terjun ke masyarakat, maka patut dipertanyakan: apa yang sebenarnya mereka pelajari selama 18 tahun?

Reorientasi Tujuan Pendidikan

Kritik dari tulisan yang beredar ini bukan berarti ranking dan jurnal tidak penting. Tujuannya adalah mengajak untuk merefleksikan kembali prioritas.

Ambil contoh ilmu pendidikan. Tujuan orang menekuni ilmu pendidikan adalah agar ia bisa menjadi guru, pendidik, dan orang tua yang baik. Kemampuan ini jauh lebih penting daripada sekadar menulis di jurnal ilmiah tertentu. Kita membutuhkan guru-guru dan pendidik-pendidik yang kompeten dan berakhlak.

Demikian pula di bidang politik, melahirkan politisi dan negarawan yang baik adalah jauh lebih penting daripada menghasilkan sarjana ilmu politik yang sekadar mampu menulis jurnal, tetapi tidak bisa menjadi politisi yang baik.

Pernah saya bertanya kepada seorang rektor kampus hukum yang sudah tua: "Jika anak saya kuliah di Fakultas Hukum di sini, apakah dijamin anak saya akan menjadi lawyer pejuang yang ilmunya hebat, akhlaknya hebat, dan punya jiwa perjuangan yang hebat?" Sayangnya, sang rektor tidak berani memberikan jaminan.

Kita memiliki sekolah-sekolah dan kampus-kampus keguruan, namun uniknya, banyak lulusan SMA yang pintar, sejak tahun 80-an, tidak berminat menjadi guru. Hal ini menjadi tantangan besar. Di Pesantren At-Taqwa, kami berjuang melatih dan mendidik anak-anak sejak SMP dan SMA agar bangga menjadi guru, karena mereka adalah pejuang.

Mendidik akhlak mahasiswa merupakan persoalan mendasar. Diskusi dengan seorang dekan kampus negeri menguatkan pandangan ini. Saya menyarankan agar kurikulum dirombak, dan akhlak dijadikan mata pelajaran yang utama. Hard skill dapat dilatih, tetapi akhlak harus dibiasakan, dicontohkan, ditanamkan, dan dimotivasi.

Oleh karena itu, pendidikan tinggi kita perlu segera direorientasi. Kita harus berpikir kembali dan memutuskan ke mana arah pendidikan ini akan dibawa. Tulisan yang beredar ini adalah kritik dan bahan renungan yang sangat penting. Jika tidak kita pecahkan masalah ini, anak-anak kita sendiri yang akan menjadi korban, jauh dari cita-cita luhur yang kita harapkan.

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait