Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tahun 2003, saat baru beberapa bulan mulai kuliah di ISTAC-IIUM, Kuala Lumpur, media massa di sana diramaikan oleh ungkapan seorang menteri beragama Hindu bernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir. Istilah “kafir” dianggap merendahkan martabat seseorang.
Pada 16 Agutsus 2003, saya menghadiri dalam sebuah kuliah umum oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur. Ketika itu, Prof. Nuquib al-Attas, ditanya: “Apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar pemeluk agama?”
Prof. al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Quran, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan “kafir” itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai kafir!” Kaum Muslim cukup memahami, bahwa orang bukan muslim itu adalah “kafir”, bahwa mereka bukan muslim.
Ketika itu saya mulai mengenal langsung sosok pemikir Muslim tersebut. Di dunia internasional, nama al-Attas banyak diperbincangkan. Ia dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan proses Islamisasi dan menolak sekularisasi Barat. Meskipun lulusan Islamic Studies di McGill University kanada dan University of London, al-Attas sejak tahun 1970-an sudah mengingatkan kaum Muslimin, bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah peradaban Barat.
Lanjut BACA<
http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/pengalaman-mendiskusikan-istilah-kafir