Artikel Terbaru ke-2.079
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Begitu diangkat menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof. Abdul Mu’ti langsung “berlari”. Itu yang diperintahkan oleh Presiden Prabowo. Sejumlah program diluncurkan. Salah satunya adalah tujuh kebiasaan anak Indonesia: bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan istirahat yang cukup.
Gebrakan Menteri Mu’ti itu kembali mendobrak tradisi pendidikan sekular yang telah diterapkan sejak masa Indonesia belum merdeka. Secara umum, sistem pendidikan nasional kita masih melanjutkan konsep pendidikan Barat yang dibawa oleh pemerintahan Hindia Belanda – mulai dari tingkat SD hingga pendidikan tinggi. Hanya saja, kemudian ditambahkan pelajaran agama, meskipun belum menjadi rujukan utama.
Belanda memang telah berhasil menanamkan sistem sekular itu dan melahirkan banyak kadernya dalam pendidikan. Dalam catatan Yudi Latif, hingga tahun 1920, ada 829 ribu anak-anak Indonesia yang telah menjalani sistem pendidikan Barat itu. Pendidikan Pesantren yang beratus tahun telah berjalan di Indonesia, justru tidak dijadikan sebagai sistem pendidikan nasional. (Lihat buku Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan).
Padahal, tahun 1928, Ki Hadjar Dewantara mencita-citakan pesantren sebagai sistem pendidikan nasional yang ideal. Sebabnya, di pesantren ada interaksi intensif antara guru (KI Hajar) dengan para murid, sehingga proses pendidikan dan pengajaran dapat berjalan dengan baik. Ki Hadjar juga sangat kritis terhadap sistem pendidikan kolonial yang hanya mendidik aspek fisik dan intelektual anak-anak.
Dalam rangka memenuhi tuntutan aspirasi umat Islam, maka pada 3 Januari 1946, dibentuklah Kementerian Agama. Menteri agama pertamanya adalah HM Rasjidi, salah satu pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Kemenag kemudian mendapat tugas khusus untuk menyelenggarakan sistem pendidikan Islam. Hingga sekarang, kewenangan Kemenag itu masih dipertahankan. Ada Direktorat Jenderal Khusus yang mengatur Pendidikan Islam, yaitu Dirjen Pendidikan Islam.
Sementara itu, proses Islamisasi pendidikan umum yang berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan, terus berlangsung. Meskipun diiringi berbagai protes dari sebagaian kalangan, Pendidikan Agama ditetapkan menjadi mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan. Menjelang diundangkannya RUU No 2 tahun 1989, terjadi perdebatan sengit tentang perlu atau tidaknya Pendidikan Agama dijadikan mata pelajaran wajib.
Sejalan dengan perkembangan gerakan dakwah Islam, berdirilah sejumlah sekolah Islam yang berjuang meraih pengakuan dan kepercayaan umat Islam, seperti Sekolah-sekolah Muhammadiyah, Sekolah Al-Azhar, Nurul Fikri, Abu Bakar Yogya, Al-Hikmah Surabaya, dan sebagainya. Sekolah-sekolah itu didirikan dan dikelola oleh para profesional muslim yang berani menjadikan anak-anak mereka sendiri sebagai “singa percobaan”.
Sekolah-sekolah Islam itu pun berhasil meraih kepercayaan masyarakat muslim, karena terutama prestasi akademik para lulusannya yang berhasil melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Saat ini, ada puluhan ribu sekolah Islam dan Pesantren. Jumlahnya terus bertambah, sejalan dengan pertumbuhan kepercayaan umat Islam. Bahkan, banyak sekolah Islam dan pesantren yang memasang biaya uang masuk di atas Rp 40 juta rupiah dan tetap diminati masyarakat.
Lanjut baca,