SEKOLAH ISLAM DAN PESANTREN PERLU SERIUS DAN HATI-HATI MENGAJARKAN PANCASILA

SEKOLAH ISLAM DAN PESANTREN PERLU SERIUS  DAN HATI-HATI MENGAJARKAN PANCASILA

 

 

Artikel Terbaru ke-2.135

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

 

            Mohon sekolah Islam dan pondok pesantren serius dan berhati-hati dalam mengajarkan Pancasila.  Sejauh ini, dalam berbagai kunjungan, saya masih menemukan adanya sejumlah pembelajaran Pancasila yang tidak tepat. Pancasila diajarkan tidak sesuai dengan cara pandang para pendiri bangsa terhadap Pancasila.

            Misalnya, dalam sebuah buku ajar tingkat SMA disebutkan, bahwa seolah-olah para anggota BPUPK tidak setuju dengan rumusan Piagam Jakarta. Padahal, Piagam Jakarta adalah naskah resmi Pembukaan UUD 1945 yang disetujui dalam Sidang terakhir BPUPK. Bung Karno sangat membela Piagam Jakarta dan berulang kali menyatakan, inilah hasil kompromi maksimal yang bisa dicapai antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan.

            Sikap Bung Karno itu terus dipertahankan. Piagam Jakarta ditegaskan lagi eksistensinya dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dan pada 22 Juni 1965, Presiden Soekarno masih menghadiri peringatan Piagam Jakarta. Di situlah Presiden Soekarno masih menyatakan, bahwa Piagam Jakarta adalah yang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

“Nah, Jakarta Charter ini saudara-saudara, sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut… Perhatikan, di antaranya penandatangan daripada Jakarta Charter ini, ada satu yang beragama Kristen saudara-saudara, yaitu Mr. A.A. Maramis.  Itu menunjukkan bahwa sebagai tadi dikatakan Pak Roeslan Abdulgani, Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!” begitu kata Presiden Soekarno. (Lihat buku Adian Husaini, Islam dan Pancasila).

            Pidato Bung Karno itu menunjukkan, bahwa pencoretan tujuh kata pada 18 Agustus 1945 dilakukan dalam kondisi darurat. Sebagaimana diceritakan oleh Kasman Singodimedjo, dalam pertemuan sejumlah tokoh Islam dengan Bung Hatta pada 18 Agustus 1945, kondisinya sangat genting. Jepang masih berkuasa. Tentara Sekutu sedang menuju Indonesia.

Ketika itulah, datang ultimatum dari pihak tertentu, agar “Tujuh Kata” itu dicoret atau mereka berpisah dari negara Indonesia yang baru merdeka. Bung Hatta menyampaikan ultimatum itu kepada para tokoh Islam. Maka, demi persatuan Indonesia, para tokoh Islam menerima pencoretan “Tujuh Kata” tersebut. Inilah pengorbanan besar umat Islam Indonesia.

            Hanya saja, seharusnya para santri atau pelajar muslim memahami, bahwa makna dari “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah Tauhid menurut ajaran Islam. Dalam Tesis Masternya di McGill University tentang Piagam Jakarta, Endang Saifuddin Anshari (ESA) memuat kesaksian sejumlah tokoh Islam bahwa Bung Hatta setuju sila pertama itu bermakna Tauhid. Tesis ESA itu sudah beberapa kali diterbitkan.

            Makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid,  juga diputuskan dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Bahkan, ditegaskan juga bahwa sila pertama Pancasila adalah yang menjiwai sila-sila lainnya.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/sekolah-islam-dan-pesantren-perlu-serius--dan-hati-hati-mengajarkan-pancasila

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait