Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang dosen mempersoalkan, mengapa sistem pengajaran hukum Islam diberikan secara dogmatis? Pertanyaan dosen tersebut sekilas tampak masuk akal. Kata ’dogma’ sering dilawankan dengan kata ’akal’. Dogmatis artinya diajarkan tanpa perlu berpikir. Pokoknya terima saja! Tidak usah pakai akal! Karena itu, dogmatis dikesankan tidak rasional.
Ungkapan itu perlu dijernihkan. Dalam hukum atau syariat Islam, memang banyak hal yang bersifat ’dogmatis’. Tidak perlu dipikirkan lagi. Yang penting dijalankan saja, karena memang begitulah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Bagi orang Muslim, Rasul saw adalah teladan yang baik (uswah hasanah). Jika Rasul sudah memerintahkan sesuatu, maka tidak ada pilihan lain, kecuali ’sami’na wa atha’na. Itulah sikap Muslim yang sudah berikrar bahwa ”Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Bahkan, salah satu syarat keimanan, adalah tunduk dan rela dengan aturan yang dibawa Rasulullah saw. (4:65).
Karena itu, tidak ada salahnya jika seorang Muslim memegang syariat sebagai ’dogma’. Bahwa syariat adalah aturan Rasul saw yang harus ditaati, tanpa perlu tahu latar belakang atau alasan ditetapkannya aturan itu. Banyak aspek dalam syariat Islam yang tidak mampu dijangkau oleh akal. Kenapa masuk kamar mandi sebaiknya kaki kiri dulu? Mengapa shalat subuh harus dua rakaat? Mengapa babi diharamkan? Mengapa khamr diharamkan sama sekali? Mengapa pezina dirajam atau dicambuk 100 kali? Dan sebagainya.
Tetapi, Islam bukanlah agama yang dogmatis. Islam memerintahkan manusia untuk berpikir dan berilmu dalam memeluk Islam: ’Fa’lam annahu laa-ilaaha illallah’. Islam adalah agama yang dibangun di atas dasar ilmu. Bukti-bukti bahwa a-Quran adalah wahyu Allah bisa dibuktikan dengan akal sehat. Bahwa Muhammad saw adalah nabi, utusan Allah, bisa dibuktikan dengan akal. Bahwa Allah benar-benar wujud juga bisa dibuktikan dengan akal.
Konsep Islam ini sangat berbeda dengan tradisi Kristen yang memiliki konsep ketuhanan trinitas yang sangat rumit, sehingga St. Augustine mengeluarkan ungkapan ”credo ut intellegam” (Aku beriman supaya aku paham). Bahkan, Tertullian, seorang teolog Kristen kenamaan mengungkapkan: ”credo quia absurdum”. (Aku beriman, justru karena doktrin tersebut absurd).
Jadi, dalam pandangan Islam, ketika seorang sudah masuk Islam, menerima Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan menerima Muhammad saw sebagai utusan-Nya yang terakhir, maka tidak ada pilihan baginya, kecuali mentaati Allah dan Rasul-Nya. Jika tidak siap untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka keimanan itu bohong-bohongan saja. Di sinilah aspek syariat atau hukum Islam harus diletakkan. Siapa pun yang benar-benar mengakui konsekuensi syahadatnya, pasti tidak akan menolak syariat Islam.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/sifat-syariat-islam