Artikel Terbaru (ke-1.637)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 25 Agustus 2023, laman https://web.suaramuhammadiyah.id memuat berita berjudul: “Pandangan Syeikh al-Azhar terhadap Hermeneutika.” Disebutkan, bahwa pada 22 Agustus 2023, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengadakan acara International Guest Lecture dengan tema “Peran Al-Azhar dalam Merumuskan Metodologi Tafsir Kontemporer dan Posisinya terhadap Hermeneutika”.
Keynote Speaker pada acara ini adalah Prof. Dr. Muhammad Salim Abu Ashi yang merupakan Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Al-Azhar Mesir. Acara diikuti sekitar 250 peserta dari kalangan dosen, mahasiswa, dan umum.
Dalam acara ini, Syekh Muhammad Salim menyampaikan bahwa pembahasan ini pernah ia tulis dalam karyanya, Maqalatani fi al-Ta’wil yang ditulis sekitar 20 tahun lalu. Di buku ini, ia banyak membahas dhawabit atau kaidah dalam melakukan takwil.
Selain itu, Syekh Salim juga mengkritisi beberapa pemikir muslim kontemporer yang menggunakan hermeneutika dalam melakukan takwil seperti Muhammad Arkoun, Abu al-Qasim Haj Hamad, Hasan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Prof. Salim mengingatkan bahwa untuk memahami Al-Qur’an, dibutuhkan pemahaman yang baik terhadap bahasa Arab dan ilmu-ilmu alat lain seperti ilmu ushul fiqh. Jangan sampai berani berspekulasi menafsirkan ayat tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an.
Pembacaan teks Al-Qur’an di era kontemporer dengan hermeneutika, menurut Syekh Salim banyak mengesampingkan kaidah penafsiran, seperti menghilangkan peran bahasa. Dalam hermeneutika, semua boleh dan bebas menafsirkan karena sudah menjadi hak pembacanya. Tidak ada penafsiran yang absolut. Tidak ada penafsiran yang dianggap pasti benar. Semua penafsiran boleh disalahkan, bahkan pemahaman Nabi juga bisa disalahkan. Semua hukum dalam Al-Qur’an menjadi relatif.
Oleh karena itu, Prof Muhammad Salim mengajak untuk mempelajari berbagai cabang ilmu syar’i dengan baik utamanya ilmu Ushul Fiqh yang didalamnya ada pembahasan tentang “dalalat” yang merupakan pondasi dalam memahami nash. Beliau juga mengutip perkataan Syekh al-Buti: “Apabila semua bebas memelintir kata-kata dalam Al-Qur’an dari makna asal kepada yang dia inginkan, maka tidak ada yang bisa memahami Al-Qur’an lagi dengan benar dan hilanglah nilai-nilai bahasanya”.
Syekh Salim melanjutkan bahwa dalam mentakwilkan Al-Qur’an harus sesuai dengan kaidah. Diantara buku yang menjelaskan masalah ini adalah kitab jam’u al-jawami. Ibnu Subkhi menyatakan bahwa takwil harus berdasarkan dalil. Setiap takwil harus ada dalilnya baik dari segi ‘aqli, lughawi, ataupun lainnya. Tidak ada takwil tanpa dalil. Bahkan beliau mengatakan jika anda mentakwil tanpa dalil maka anda telah mempermainkan Al-Qur’an. Selain itu, mentakwil juga harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
Di zaman ini, lanjutnya, ada yang membuat tafsir kontemporer dengan menggunakan hermeneutika yang sebenarnya hanya merupakan kelanjutan dari tafsir “bathini”. Polanya adalah dengan mengajak keluar dari bahasa Al-Qur’an dan kaidah tafsir, untuk kemudian mempermainkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.
Lanjut baca,
SUARA SEJUK TENTANG HERMENEUTIKA DARI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA (adianhusaini.id)