ADI: TEROBOSAN KREATIF DEWAN DA’WAH

ADI: TEROBOSAN KREATIF DEWAN DA’WAH

 

 Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Pada hari Jumat (27 November 2020), saya menyampaikan ceramah dan khutbah Jumat di Markas Akademi Da’wah Indonesia (ADI), di Kota Metro Lampung. Acara kali ini dihadiri oleh beberapa sesepuh Dewan Da’wah, para dosen dan mahasiswa ADI Lampung.

ADI merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal setingkat pra-universitas dengan sistem pesantren, di bawah naungan Dewan Da’wah. Sampai saat ini, ada 16 ADI di berbagai kota di Indonesia. Banyak lulusan ADI melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Muhammad Natsir.

Saya sudah mengunjungi sejumlah Kampus ADI atau berdialog dengan para dosen dan mahasiswanya, seperti ADI Surabaya, Bandung, Aceh, Lampung, dan ADI Prabumulih. Senin (30 November 2020), saya dijadwalkan meresmikan ADI Bengkulu.

ADI Lampung memiliki keistimewaan. Ia berdiri di atas lahan seluas 4000 meter2. ADI ini sudah meluluskan enam angkatan. Para alumninya sudah tersebar sebagai dai di berbagai daerah. Salah satunya menjadi Sekretaris Majelis Fatwa MUI di satu kota di Papua.

            Kepada para dosen dan mahasiswa ADI Lampung, saya sampaikan bahwa ADI adalah sebuah karya kreatif dan terobosan visioner dalam pergerakan dakwah di Indonesia. ADI juga  sebagai bentuk koreksi terhadap sebagian besar praktik pendidikan di Indonesia yang kurang tepat, khususnya SMA dan perguruan tinggi. “Kurang tepatnya”, terjadi pada ketidaksiapan dan ketidakmampuan para murid untuk terjun ke masyarakat, sebagai pejuang (dai) untuk menjawab nilai-nilai kehidupan.

            Problem dasarnya ada pada usia pendidikan. Murid-murid SMA dipandang dan diperlakukan BUKAN sebagai orang dewasa. Akhirnya lulusan SMA bahkan S1 lebih pintar menjawab soal ujian dan hanya disiapkan supaya bisa masuk kampus. Namun ia tidak matang dan kekeringan soft skill dan jauh dari jiwa perjuangan menegakkan kebenaran. 

            KH Imam Zarkasyi dengan pesantren Gontor-nya dan Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya menerapkan konsep pendidikan, bahwa usia anak SMA (15-18 tahun) adalah usia orang dewasa. Artinya, ketika ia lulus, ia siap diterjunkan di masyarakat untuk berjuang menegakkan kebenaran dan hidup mandiri. Sebab, memang nilai-nilai soft skill-nya sudah tertanam dalam diri mereka.

            Pondok Pesantren pun adalah lembaga jihad, sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap penjajah. Setidaknya, cukup perjuangan para kyai dan Santri tahun 1945 dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia (setelah dikeluarkannya fatwa jihad oleh KH. Hasyim Asy'ari) menjadi bukti nyata peran pesantren di Indonesia.  

            Dalam rangka mengisi kekosongan da'i-da'i muda, sebagai lembaga pendidikan pra-universitas dengan berbasis sistem pesantren, ADI pun berusaha melengkapinya. Di saat banyak pelajar sibuk mencari nilai, kampus bergengsi, dan pekerjaan yang mapan demi imbalan materi, ADI justru berusaha melahirkan para mujahid terlebih dahulu.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/adi:-terobosan-kreatif-dewan-dawah

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar