Artikel Terbaru ke-2.094
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam beberapa kali kunjungan ke Provinsi Aceh Darussalam saya menyampaikan peran dan kepeloporan ulama Aceh dalam kepemimpinan pemikiran Islam. Sejarah menunjukkan, Aceh menjadi ladang subur bagi tumbuhnya ulama-ulama dan pemimpin hebat yang menjadi teladan di berbagai bidang.
Kita mengenal nama-nama Malahayati, Cut Nya’ Din, dan sebagainya yang menjadi pelopor dalam kepahlawanan perempuan. Kita mengenal nama-nama Syeikh Nuruddin al-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdul Rauf al-Singkili, dan sebagainya yang menjadi pelopor dalam pemikiran Islam.
Para pejuang dan ulama-ulama itu adalah manusia-manusia seperti orang-orang Aceh di masa kini. Mereka memiliki jiwa dan raga yang sama. Sel-sel otak dan syarafnya sama. Susunan anatomi tulang belulangnya sama. Yang membedakan mereka dengan generasi di masa kini adalah pendidikan yang mereka terima. Para pejuang dan para ulama itu pasti menerima pendidikan yang hebat.
Salah satu ulama hebat yang terus menjadi bahan kajian dan menginspirasi umat Islam di Nusantara adalah Syeikh Nuruddin al-Raniri. Nama lengkapnya Muhammad Jailani ibn Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Hamid al-Raniri (m.1068 H/1658 M).
Ia seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh Darussalam. Karya-karyanya berpengaruh besar dalam tradisi pemikiran Melayu-Nusantara. Al-Raniri dilantik menjadi Mufti Besar Aceh oleh Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M).
Ia sangat produktif dalam menulis. Lebih 25 kitab telah ditulisnya. Diantaranya adalah: (1). Durr al-Fara’id bi Sharh al-‘Aqa’id (2) Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib (1635), (3) Lata’if al-Asrar (4) Asrar al-Insan fi Ma‘rifat al-Ruh wa al-Rahman (4) at-Tibyan fi Ma‘rifat al-Adyan (4). Akhbar al-Akihrah fi Ahwal al-Qiyamah (5) Jawahir al-‘Ulum fi Kashf al-Ma‘lum (6) Hujjat al-Siddiq li Daf‘ al-Zindiq (7) Fath al-Mubin ‘ala al-Mulhidin (8) Al-Lama‘an fi Takfir man Qala bi Khalq al-Qur’an (9) Sawarim al-Siddiq li Qat‘i al-Zindiq, dan sebagainya.
Dalam buku Jejak Sultanah Safiatuddin, karya Zulfata, (2015), disebutkan, bahwa Ratu Safiatuddin menjalani pendidikan hebat sejak masa anak-anak. Umur 7 tahun, Safiatuddin sudah belajar pada ulama-ulama besar, seperti Syaikh Hamzah Fansuri, Seri Fakih Zainal Abidin Ibnu Daim Mansur, Syeikh Kamaluddin, dan ulama-ulama besar lainnya di Aceh. Ia seorang pembelajar. Ia fasih berbahasa Arab, Persia, dan Spanyol. Ia juga paham ilmu-ilmu politik, ilmu fiqih, logika, sejarah, falsafah, tasawuf, dan sastra.
Pada 15 Februari 1641, Safiatuddin diangkat menjadi Sulthanah di Aceh, menggantikan suaminya, Sultan Iskandar Tsani. Pengangkatan Safiatuddin menimbulkan kehebohan di kalangan ulama, karena sudah dimaklumi dalam Fiqih Siyasah, seorang kepala negara harus dijabat oleh laki-laki. Tetapi, Ratu Safiatuddin didukung oleh sejumlah ulama seperti Syeikh Nuruddin al-Raniry dan nantinya juga oleh Syeikh Abdurrauf as-Singkili.
Lanjut baca,